Sabtu 07 Oct 2023 15:05 WIB

Kelompok HAM Muslim Eropa: Umat Islam Secara tidak Adil Dimasukkan dalam Daftar Hitam

Umat Islam menjadi sasaran sistematis pelanggaran hak konstitusional mereka.

Rep: Mabruroh/ Red: Ani Nursalikah
Demonstran memprotes larangan abaya di sekolah negeri Prancis di depan Kedubes Wina di Prancis, Ahad (17/9/2023).
Foto:

Pembakaran Alquran di Swedia

Arman Jeziz, yang mewakili Insan, memulai dengan mengatakan sebuah masjid telah dibakar di Swedia saat dia menulis pidatonya.

“Jika buku-buku dan masjid-masjid dibakar, jika umat Islam tidak diperbolehkan berpakaian sesuka mereka, jika mereka menjadi sasaran pengawasan ketat, jika mereka sering digambarkan sebagai orang yang bermasalah, dan jika mereka dianggap berpotensi melakukan kekerasan, lalu bagaimana dengan orang-orang yang ada di sana?" kata Jeziz.

“Pada akhirnya, pertanyaannya bisa diajukan dengan lebih blak-blakan: Apa yang ingin dilakukan Swedia dan Eropa dan apa yang mereka inginkan terjadi pada populasi Muslim di negara mereka?” kata Jeziz.

Peneliti Cage di Austria, Nehal Abdullah, mengutuk Operasi Luxor yang dilakukan pemerintah Austria, yang menyebabkan polisi Austria menggerebek rumah 70 rumah tangga Muslim dan penangkapan 30 akademisi Muslim pada 2020.

Abdullah mencatat keputusan pengadilan tinggi baru-baru ini mengecam penggerebekan tersebut sebagai tindakan yang melanggar hukum dan bermotif politik. Dia juga mengkritik pendirian Pusat Dokumentasi Islam Politik di negara Austria, yang baru-baru ini terbukti memiliki hubungan dengan Uni Emirat Arab dan kampanyenya melawan Ikhwanul Muslimin.

Para pegiat dari Prancis juga berbicara pada sesi OSCE dan mengatakan larangan abaya di sekolah-sekolah dan pembunuhan polisi baru-baru ini terhadap pemuda Afrika Utara telah semakin meningkatkan ketegangan. "Ditelanjangi, dilecehkan, dipermalukan. Gadis-gadis muda di Prancis menderita, namun tidak ada yang bereaksi," kata Elias d'Imzalene, dari Perspective Musulmanes.

“Semua rasa hormat saya sampaikan kepada gadis-gadis muda Muslim yang terus memperjuangkan kebebasan mereka untuk tetap menjadi Muslim meskipun negara Prancis melakukan segala cara untuk mencegah mereka tetap menjadi Muslim,” tambah Imzalene.

OSCE menggambarkan dirinya sebagai organisasi keamanan regional terbesar di dunia yang terdiri dari 57 negara anggota dari Eropa, Asia Tengah, dan Amerika Utara.

Perwakilan dari delegasi Prancis untuk OSCE menggunakan sesi mereka untuk membahas dukungan Prancis terhadap Komisi Eropa melawan Rasisme dan Intoleransi. Berbicara di hadapan Imzalene, perwakilan Prancis tidak membahas kekhawatiran seputar Islamofobia di Prancis.

“Dalam bidang agama dan kepercayaan, setiap orang di Prancis bebas untuk mempercayai apa yang diinginkan atau tidak dan akan diperlakukan sama,” kata perwakilan Prancis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement