REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kematian adalah suatu kepastian. Meskipun begitu, manusia tidak bisa menebak-nebak atau mengetahui kapan datangnya hari kematian itu, karena semua itu adalah rahasia Allah, sama seperti halnya jodoh dan rezeki.
Karena itulah, banyak ulama yang kerap mengingatkan dalam setiap ceramah-ceramahnya agar jangan lupa menabung pahala selama hidup di dunia, untuk bekal di akhirat nanti.
Dikutip dari buku Ayah Ibu Kubangunkan Surga Untukmu: Amalan-amalan Dahsyat Untuk Orangtua yang sudah Meninggal karya Muhammad Abdul Hadi disebutkan, bahwa salah satu fase menuju kematian yang paling menyakitkan adalah fase sakaratul maut, yakni fase terpisahnya raga dengan nyawa.
Pada fase tersebut seorang manusia mengalami naza', yaitu dicabut nyawanya oleh malaikat maut. Momen pemisahan badan dan raga ini akan terasa menyakitkan, apalagi bagi manusia-manusia yang selama hidupnya menentang dan membangkang kepada Allah Swt. Terkait sakitnya sakaratul maut bagi orang-orang kafir, Allah berfirman sebagai berikut:
"Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya", padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah". Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu!” Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya," (QS. al-An'am: 93).
Demikianlah sakitnya sakaratul maut yang digambarkan oleh Allah Swt., dalam surah al-An'am. Senada dengan firman Allah Swt tersebut, Rasulullah Saw juga menggambarkan betapa sakitnya sakaratul maut itu. Suatu ketika, Rasulullah Saw mengunjungi orang sakit yang sedang menghadapi sakaratul maut. Rasul lalu bersabda:
“Aku tahu yang ia jumpai, tidak ada satu urat pun darinya kecuali mengalami atau merasakan sakitnya maut atas ketajamannya," (HR. Ibn Abi Dunya).
Ketika menggambarkan cengkeraman dan cekikan maut-maut itu, Rasulullah Saw., bersabda, "Dia sekadar tiga ratus pukulan pedang," (HR. Ibn Abi Dunya dari Hasan).
Bahkan Rasulullah Saw sebagai manusia yang dijaga oleh Allah Swt., dari dosa dan diringankan sakaratul mautnya, saat menjelang wafat, beliau mengusap wajahnya dengan air dan berdoa, "Ya Allah mudahkanlah atas saya sakaratul maut itu,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan berbagai penjelasan tersebut, maka penting sekali seorang anak menemani orang tuanya ketika menghadapi sakaratul maut. Sebagai anak yang berbakti, sudah seharusnya juga setia mendampingi orang tua saat malaikat maut mendatanginya.
Lalu apa yang bisa dilakukan seorang anak ketika mendampingi orang tua menghadapi sakaratul maut? Musthafa Al-Khin dalam kitabnya Al-Fiqhul Manhaji menyebutkan ada 4 yang bisa dilakukan terhadap anggota keluarga yanh sedang menghadapi sakaratul maut.
Pertama, menghadapkan orangtua ke arah kiblat dengan posisi miring di atas sisi kanan. Hal itu sesuai sebuah hadis yang berbunyi, "Abu Qatadah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw ketika tiba di Madinah menanyakan akan Bara' bin Ma'rur, dijawab oleh orang, "Dia telah meninggal dunia dan mewasiatkan sepertiga hartanya buat engkau Ya Rasulullah dan dia telah mewasiatkan juga agar dia di hadapkan ke kiblat bila dalam keadaan dekat dengan maut." Maka Nabi Saw., bersabda, "Wasiatnya itu sesuai dengan Islam," (HR. Al-Hakim).
Tentu saja ketika menghadapkan orang tua ke arah kiblat, harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Sebab, akan sangat menyakitkan jika itu dilakukan dengan kasar tapa memperhatikan keadaan orang tua yang sedang mengalami sakitnya sakaratul maut. Bila tidak bisa melakukannya sendiri, lebih baik meminta bantuan saudara atau tetangga.
Kedua, membimbing dan mengajari orantua mengucapkan kalimat tauhid. yakni la ilaha illallah muhammadur rasulullah (tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah), juga perlu diajarkan kepada orang tua ketika menghadapi sakaratul maut.
Tentang hal ini, para ulama salaf sepakat menganjurkan menuntun (talqin) orang yang sudah mendekati kematian (sakaratul maut) dengan kalimat tauhid.
Rasulullah Saw., bersabda, "Tuntunlah orang yang menjelang kematian dengan laa ilaha illallah. Sungguh, saat menjelang ajal, syahwat manusia akan mati, dan ia akan beroleh cahaya keyakinan. Jika ia mengucapkan kalimat tauhid dalam keadaan seperti ini, tentu syahadatnya itu diterima."
Ketiga, mengajari husnuzan orang tua. Hal penting lainnya yang bisa dilakukan adalah mengajari orang tua untuk berbaik sangka akan rahmat dan ampunan Allah Swt. Orang yang sedang menghadapi sakaratul maut harus membuang jauh-jauh bayangan dosa dan kemaksiatan yang pernah dilakukannya semasa hidup. Sebaliknya, yang dihadirkan adalah berbaik sangka bahwa Allah Swt sudah mengampuni dosa-dosanya.
Dalam sebuah hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Allah Swt berfirman, "Aku bersama prasangka hamba-Ku kepadaku."
Para ulama mengajarkan ketika seseorang sedang dalam keadaan sehat, maka rasa takutnya harus seimbang dengan rasa pengharapan akan rahmat Allah Swt., bahkan ada yang mengatakan kalau rasa takutnya harus lebih besar, agar tidak melakukan maksiat. Akan tetapi, ketika sudah mendekati ajal, rasa pengharapannya akan rahmat dan ampunan Allah Swt harus lebih besar. Oleh karena itu, seoranh anak harus mengajari orang tuanya yang sedang menghadapi sakaratul maut untuk selalu berprasangka baik kepada Allah Swt.
Keempat, membacakan surah Yasin. Hal lain yang bisa dilakukan ketika mendampingi orang tua menghadapi sakaratul maut adalah membacakan surah Yasin di sampingnya. Tapi tentu saja jangan dengan suara yang keras, cukup terdengar oleh orang tua kita.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, yakni, "Bacakanlah surah Yasin kepada orang yang sedang sekarat di antara kalian."