REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) No 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Di dalam pasal 102 beleid tersebut, pemerintah secara eksplisit menghapus praktik sunat perempuan. Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai, penghapusan praktik tersebut bertentangan dengan syariat Islam.
Menanggapi hal itu, Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Jubir Kemenkes), Siti Nadia menjelaskan, sebenarnya aturan penghapusan sunat perempuan bukan hal yang baru. Sebelumnya, kata dia, sudah ada PP yang menetapkan hal serupa.
"Jadi sebenarnya PP ini bukan yang baru karena sebelumnya sudah ada aturan tentang penghapusan sunat perempuan," ujar Nadia saat dihubungi Republika.co.id Selasa (6/8/2024).
Dia mengatakan, sejak awal menyusun Permenkes sebelumnya dan pembahasan undang-undang sudah juga dilakukan konsultasi publik untuk berdiskusi dan mendapatkan masukan baik dari masyarakat, komunitas, lembaga keagamaan, tokoh agama terkait, praktisi, dan para ahli kesehatan.
Namun, menurut dia, pemerintah tidak mungkin mengakomodir semua masukan untuk membuat peraturan tersebut. Menurut dia, apa yang tercantum dalam peraturan tentang kesehatan tersebut sudah merupakan jalan tengah.
"Mungkin tidak dapat mengakomodir pendapat semua pihak tetap dicarikan jalan tengah," ucap Nadia.
Dia pun mengungkapkan tentang bahaya sunat perempuan bagi kesehatan. Menurut dia, praktik sunat bagi perempuan dapat menimbulkan nyeri hebat, pendarahan yang berlebihan, pembengkakan jaringan kelamin; demam, infeksi misalnya tetanus, masalah kencing, masalah penyembuhan luka, cedera pada jaringan genital di sekitarnya, serta bisa membuat syok bahkan kematian.
Selain itu, menurut dia, sunat perempuan juga akan menimbulkan bahaya jangka panjang, seperti menimbulkan masalah buang air kecil (sakit buang air kecil, infeksi saluran kemih), masalah vagina (keputihan, gatal, vaginosis bakteri dan infeksi lainnya), masalah haid (nyeri haid, darah haid sulit keluar, dan lain-lain), jaringan parut dan keloid.
"Masalah seksual (nyeri saat berhubungan, penurunan kepuasan, dan lain-lain), peningkatan risiko komplikasi persalinan, serta masalah psikologis seperti depresi, kecemasan, gangguan stres pasca trauma, harga diri rendah, dan lain-lain," jelas Nadia.