Sementara itu, peneliti sejarah pesantren di Betawi KH Rakhmad Zailani Kiki yang akrab disapa Ustadz Kiki mengatakan, untuk di wilayah Jakarta sendiri masih ada santri kalong. Namun, santri kalong yang dimaksud Ustadz Kiki ini lebih kepada masyarakat yang mengaji kitab kepada seorang kiai pesantren yang membuka majelis taklim.
“Masih ada. Justru santri kalong ini di Jakarta atau di Tanah Betawi, mereka disebut santri kalong karena nyantri kepada seorang kiai, seorang guru, seorang mualim. Ngajinya ini memang tidak mondok, mereka pulang pergi, sehingga disebut santri kalong,” ujar dia saat dihubungi lebih lanjut.
Dia menjelaskan, santri kalong di Jakarta biasanya akan mengaji di majelis taklim kitab kuning. Salah seorang ulama Betawi, KH Maulana Kamal Yusuf juga menyebut majelis taklim kitab kuning tersebut dengan istilah “Pengajian Sila”. Karena, peserta didik yang mengikuti majelis taklim kitab kuning tersebut biasanya duduk bersila.
“Pengajian Sila ini tentunya diikuti santri yang tidak mondok. Di Jakarta contohnya seperti Ponpes Salaf Al Ihsan Cakung yang didirikan Guru Asmat itu selain mengadakan pendidikan ponpes untuk yang mondok, tapi juga ada santri kalongnya. Rata-rata santrinya ustaz, bahkan kiai. Jadi masih ada itu,” ucap Ustadz Kiki.
Sedangkan Pengasuh Pondok Pesantren Cendikia Amanah Depok, KH Cholil Nafis berbeda lagi dalam memaknai santri kalong. Baginya, murid yang menempuh pendidikan madrasah diniyah di pesantrennya juga bisa dikategorikan sebagai santri kalong.
“Masih ada hanya sekolah. Tapi hanya meneruskan yang lalu. Tapi ada yang kalong untuk madrasah diniyah,” kata Kiai Cholil.
Ikuti Whatsapp Channel Republika
