REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Doktor Ilmu Psikologi Universitas Indonesia (UI) Ilmi Amalia menyebutka,n hasil studi mengenai ekspresi identitas Muslim dapat memberikan kesejahteraan psikologis individu, tetapi juga berpotensi menyebabkan intoleransi, diskriminasi, dan konflik.
"Studi mengenai ekspresi identitas Muslim menjadi penting karena adanya perdebatan tentang sejauh mana Muslim dapat mengekspresikan identitas mereka dalam konteks sosial, politik, dan masyarakat," kata Ilmi di Kampus UI Depok, Rabu (23/8/2023).
Ilmi yang sehari-hari merupakan dosen Fakultas Psikologi UIN Jakarta mendapat gelar doktor setelah menghasilkan disertasi berupa penelitian berjudul "Ekspresi Identitas Muslim: Peran Tipe Identifikasi, Totalisme Islam, dan Kontak Antar Kelompok sebagai Moderator.
Dikatakannya dalam kajian psikologi sosial, ekspresi identitas dibagi menjadi dua fungsi, yaitu konsolidasi identitas (identity consolidation) dan mobilisasi identitas (identity mobilization).
Ekspresi konsolidasi adalah bentuk ekspresi yang bertujuan menguatkan identitas sebagai Muslim, seperti memakai atribut Islam. Sedangkan, ekspresi mobilisasi adalah bentuk ekspresi yang bertujuan mengubah keadaan umat Islam, biasanya terkait dengan kekuasaan dan politik.
Perbedaan kedua fungsi tersebut ditentukan oleh tipe identifikasi. Mereka yang menunjukkan kecenderungan tinggi terhadap kelompok akan memiliki interpretasi keislaman totalisme dan akan menunjukkan ekspresi identitas konsolidasi.
Adapun pada tipe identifikasi, glorifikasi kelompok mempengaruhi ekspresi mobilisasi. Identifikasi dengan kelompok yang menekankan superioritas akan mendorong pada bentuk ekspresi yang mengubah status Islam pada sistem sosial yang lebih luas.
Terkait hal ini, Ilmi menilai penelitian yang dilakukannya memiliki implikasi praktis bagi berbagai pihak. Bagi para pengambil kebijakan di pemerintahan, perlu disadari bahwa mengeskpresikan identitas adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari identitas.
Ekspresi konsolidasi dan mobilisasi akan selalu ada di masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu memfasilitasi dan mengakomodasi kedua bentuk ekspresi tersebut selama tidak melanggar norma hukum yang berlaku.
Kedua, masyarakat perlu memperbanyak aktivitas serta meningkatkan kualitas kontak antarpemeluk agama sehingga bentuk ekspresi identitas tidak mengarah pada perilaku intoleran atau konflik antarkelompok.
Bentuk kontak antarkelompok agama dapat diwujudkan melalui jalinan pertemanan dengan kelompok agama lain. Terakhir, mengenai identifikasi glorifikasi. Hal ini dipandang dapat memunculkan ekspresi intoleran dan mengganggu hubungan antarkelompok.
Hasil riset menunjukkan narasi perdamaian dapat menurunkan glorifikasi kelompok pada konteks konflik. Untuk menurunkan identifikasi glorifikasi agama, figur otoritas agama dapat menyosialisasikan narasi alternatif yang mendorong pluralisme dan moderasi beragama. Pengambil kebijakan melalui Kementerian Agama juga berperan menyosialisasikan moderasi beragama ke sekolah dan instansi-instansi pemerintah.