Selasa 11 Jul 2023 08:42 WIB

Moskow Jadi Tempat yang Nyaman Bagi Muslim Rusia

Umat Kristen dan Muslim telah hidup berdampingan selama berabad-abad di Rusia.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Ani Nursalikah
 Seorang mufti dan Muslim lainnya berdoa di luar Masjid Katedral Moskow selama perayaan Idul Adha, atau Festival Kurban, di Moskow, Rusia, Sabtu, 9 Juli 2022. Di seluruh dunia, umat Islam akan menandai akhir dari haji bersama Idul Adha. Liburan memperingati kesediaan Nabi Ibrahim untuk mengorbankan putranya Ismail atas permintaan Tuhan. Muslim secara tradisional menyembelih domba dan sapi, membagi daging di antara yang membutuhkan, teman dan kerabat.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Islam adalah agama terbesar kedua di Rusia. Islam adalah salah satu dari 20 negara teratas di dunia dalam hal populasi Muslim sebanyak 13,6 persen. Umat Kristen dan Muslim telah hidup berdampingan selama berabad-abad dalam satu negara bagian.

Mayoritas Muslim di Rusia masih tinggal di daerah permukiman bersejarah mereka, seperti di Kaukasus Utara, Republik Tatarstan, dan Bashkortostan. Kehidupan di sana lebih terorganisir, tetapi banyak Muslim pindah ke Moskow dan St. Petersburg yang menawarkan lebih banyak kesempatan.

Baca Juga

Selain itu, penduduk Asia Tengah (bekas republik Soviet) juga datang ke Moskow untuk bekerja. Saat ini, total ada 3,5 juta Muslim dari total 13 juta penduduk Moskow. Secara historis, Moskow adalah Ortodoks dan kemudian kota Soviet yang ateis.

Terlepas dari semua penduduk Muslim baru, hanya ada empat masjid dan beberapa pusat budaya Muslim di ibu kota. Selama sholat Jumat dan terutama pada hari-hari besar, masjid tidak dapat menampung semua pendatang yang melakukan sholat tepat di jalan. Meskipun demikian, umat Islam menganggap ibu kota sebagai kota yang nyaman ditinggali.

Salah satu wanita Muslim di Rusia, Aisha, lahir dari keluarga Muslim dan dia datang ke Moskow pada 2021. Dia lahir di Ingushetia, yang merupakan republik Rusia di Kaukasus Utara, dengan 98 persen penduduknya beragama Islam.

Aisha memakai hijab dan ada kalanya dia mendengar lelucon atau komentar aneh, tetapi dia tidak menganggapnya sebagai kebencian, melainkan sebagai kesalahpahaman. Ini dapat diatasi seiring berjalannya waktu.

"Ketika saudara perempuan saya yang tertutup (memakai hijab) pertama kali masuk universitas, dia diabaikan oleh siswa lain. Tapi, dia adalah orang yang sangat ramah dan, seiring waktu, dia melakukan kontak dengan semua orang sendiri. Semua orang menyadari jilbab tidak membuatnya menjadi orang aneh. Sekarang dia baik-baik saja dan berteman dengan semua orang," kata dia, dilansir di Russia Beyond, akhir pekan lalu.

Menurut Aisha, kini ia diperlakukan lebih...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement