REPUBLIKA.CO.ID, COLOGNE -- Seorang profesor universitas di Jerman menghina mahasiswi Muslim karena dia mengenakan jilbab. Perlakuan tidak menyenangkan itu disampaikan langsung pengacara mahasiswi tersebut, Senin (12/6/2023).
Dilansir di Anadolu Agency, Selasa (13/6/2023), insiden tersebut terjadi selama kelas ekonomi di kampus Universitas Bonn-Rhein-Sieg di barat laut Jerman. Profesor itu menggunakan hinaan rasialis, bahkan membandingkan jilbab wanita Muslim itu dengan simbol swastika neo-Nazi.
“Pasal 4 Konstitusi Jerman melindungi kebebasan beragama dan seorang mahasiswa dapat mengikuti pelajaran dengan mengenakan jilbab. Sikap profesor ini benar-benar tidak dapat diterima,” kata sang pengacara.
Pengacara itu menyebut peristiwa ini adalah yang terbaru dari serangkaian insiden Islamofobia dan kejahatan rasial di Jerman, terutama yang memengaruhi wanita yang mengenakan kerudung. Mahasiswi bernama Gulsen Kurt tersebut mengaku terkejut dengan penggunaan cercaan rasis oleh dosen itu.
Ia mengatakan, sebagian besar mahasiswa bereaksi dan meninggalkan kelas sebagai bentuk protes.
"Profesor mengatakan, dia tidak akan mengizinkan seorang siswa berjilbab menghadiri kelasnya, sama seperti dia tidak akan mengizinkan seorang neo-Nazi mengenakan swastika. Dia berteriak kepada saya, mengatakan 'Kamu adalah seorang Islamofasis', dan dia akan melaporkan saya ke direktorat,” katanya kepada Anadolu.
Kurt mengatakan, direktorat telah meminta maaf atas hinaan rasis di kelas dan menggarisbawahi perilaku dosen tersebut tidak disetujui oleh universitas. Sebuah negara berpenduduk lebih dari 84 juta orang, Jerman memiliki populasi Muslim terbesar kedua di Eropa Barat setelah Prancis.
Jerman adalah rumah bagi hampir lima juta Muslim, menurut angka resmi. Negara itu telah menyaksikan meningkatnya rasisme dan Islamofobia dalam beberapa tahun terakhir, dipicu oleh propaganda kelompok dan partai sayap kanan.
Polisi Jerman mencatat sebanyak 5.372 insiden xenofobia dan 610 kejahatan rasial Islamofobia tahun lalu. Para ahli mengatakan angka sebenarnya bisa jauh lebih tinggi karena banyak di antaranya tidak diselidiki atau didaftarkan dengan benar dalam statistik resmi.