REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Memilih menimbah ilmu di sekolah-sekolah Islam, sekolah umum, atau sekolah-sekolah non-Muslim adalah pilihan yang mudah bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar.
Tetapi berbeda cerita bagi mereka yang tinggal di pelosok-pelosok negeri, mereka tidak bisa memilih sekolah sesuka hati mereka apalagi berdasarkan kepercayaan agama. Bagi mereka, asalkan bisa bersekolah dengan tenang adalah sebuah anugerah.
Menurut Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS) Muhammadiyah, Fajar Riza UI Haq, khususnya mereka yang tinggal di Indonesia bagian timur atau di mana Muslim menjadi minoritas di sana, sering kali mereka bersekolah di sekolah yang berbeda keyakinan dengan agamanya.
Karena itulah, kata dia, Muhammadiyah hadir untuk mengisi kekosongan itu. Banyak sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tersebar hingga ke pelosok-pelosok negeri, seperti di Papua, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, dan Kalimantan.
Menurut Fajar semua itu adalah upaya Muhammadiyah dalam menjalankan dakwah sosialnya, melalui lembaga pendidikan dengan tujuan untuk menciptakan keharmonisan dan kerukunan antarumat beragama, sekaligus kontribusi Muhammadiyah dalam mencerdaskan anak bangsa. Karena ternyata, banyak juga siswa-siswi non-Muslim yang ternyata juga bersekolah di sekolah-sekolah Muhammadiyah atau di kampus-kampus Muhammadiyah.
“Sebenarnya dengan membentuk sekolah-sekolah di daerah minoritas itu bagian dari kontribusi Muhammadiyah dalam membangun kerukunan, dengan menciptakan lingkungan sekolah yang terbuka dan inklusif. Karena sekolah Muhammadiyah kan bagian dari dakwah sosial Muhammadiyah di daerah-daerah non-Muslim, dengan mengedepankan aspek pendidikan, bahwa Muhammadiyah hadir untuk mencerdaskan anak bangsa, termasuk apapun agamanya apapun sukunya,” ungkap Fajar kepada Republika.co.id, Jumat (9/6/2023).
Fajar menuturkan, layanan pendidikan yang diberikan Muhammadiyah adalah layanan pendidikan yang sama seperti sekolah-sekolah milik Pemerintah jadi tidak ada yang perbedaan. Kecuali pada muatan lokal Al-Islam, Kemuhammadiyahan, dan Bahasa Arab (Ismuba) di sekolah-sekolah Muhammadiyah tiga muatan lokal itu wajib diikuti siswa.
Baca juga: Mengapa Tuyul Bisa Leluasa Masuk Rumah? Ini Beberapa Penyebabnya
“Ismuba adalah ciri sekolah Muhammadiyah, maka konsekuensinya semua siswa di Muhammadiyah mau yang di sekolah maupun di kampus, itu harus mengikuti pelajaran itu, termasuk dengan siswa non-Muslim yang bersekolah di sekolah Muhammadiyah dan kampus Muhammadiyah,” kata Fajar.
Hanya saja, lanjut Fajar, penerapannya menyesuaikan dengan kondisi lokal masing-masing. Misalnya sekolah-sekolah Muhammadiyah di Nusa Tenggara Timur tepatnya di SMA Muhammadiyah ENDE di Flores, Muhammadiyah tidak mewajibkan siswa non-Muslim untuk mengikuti pendidikan Al-Islam, tetapi mereka tetap diwajibkan mengikuti Kemuhammadiyahan dan bahasa Arab.
Adapun sebagai pengganti pendidikan Al-Islam, para siswa non-Muslim dipersilakan untuk mengikuti pendidikan di Paroki atau gereja terdekat.
Kebijakan di SMA Muhammadiyah ENDE ini sudah dilakukan sejak 1971, jauh sebelum perdebatan UU sisdiknas Tahun 2003 itu.
“Jadi ini kebijakan yang sengaja dibikin SMA di situ sesuai dengan konteks lokalnya, karena kan mayoritas di sana katolik maka kebijakan sekolahnya beradaptasi, nah siswa non-Muslim dipersilahkan mengikuti pendidikan agama kristen, jadi dilayani gereja terdekat, paroki namanya di sana,” jelas Fajar.