Jumat 05 May 2023 14:36 WIB

Wawancara Mantan Napiter: Terorisme Kini Menyasar Siapa Saja

Kasus kekerasan terhadap ulama bertambah.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Muhammad Hafil
 Wawancara Mantan Napiter: Terorisme Kini Menyasar Siapa Saja. Foto:  Pengasuh Ponpes Al Hidayah Deli Serdang, Khairul Ghazali
Foto:

Dari 2020-2022 kasus teror dan kekerasan pada ulama dan Imam Masjid sering terjadi. Apa tujuan pelaku meneror ulama?

Arah baru terorisme kini menyasar siapa saja, bisa aparat, pejabat negara, gereja hingga masjid. Jadi memang ada kecenderungan baru tentang arah terorisme tersebut. Jika dahulu dilakukan kepada kepentingan barat dan seluruh institusi yang dianggapnya sebagai pendukung kepentingan barat tersebut, maka sekarang diarahkan kepada target tertentu. 

Jika dahulu dilakukan oleh hanya laki-laki kini sudah bergeser, perempuan dan anak-anak pun dilibatkan dalam aksi terorisme. Yang mengejutkan adalah serangan terhadap masjid di Mapolresta Cirebon dengan cara bom bunuh, dan penyerangan terhadap kantor MUI Pusat, walaupun yang terakhir ini dibantah oleh pihak kepolisian sebagai bukan tindakan terorisme.

Pertanyaan yang bisa dikembangkan adalah mengapa masjid dan kantor MUI jadi sasaran teror? Pertanyaan ini penting mengingat bahwa jika yang melakukan tindakan bom bunuh diri dan penyerangan tersebut  adalah orang Islam tentu secara teologis tidak ada dalil yang membenarkan tindakan tersebut. 

Bom bunuh diri saja sudah dihukumi “haram” oleh para ulama dunia termasuk juga ulama Indonesia melalui fatwa MUI. Jika kemudian ada seseorang atau kelompok yang  melakukannya secara lone wolf berarti bahwa yang dilakukannya itu tentu merupakan ijtihadnya sendiri dan bukan hasil ijtihad ulama Islam lainnya.

Dengan melakukan tindakan seperti itu, maka mereka sudah tidak lagi menggunakan nalar islami yang mengedepankan Islam yang rahmatan lil alamin. Kemudian secara hukum agama, juga tidak ada agama yang membolehkan melakukan pembunuhan terhadap lainnya. Apalagi bukan di dalam nuansa peperangan. Indonesia bukanlah  negara yang sedang di dalam suasana peperangan.

Jika dugaan polisi benar, bahwa pelaku penyerangan di kantor MUI tidak terkait dengan jaringan terorisme manapun, yang pasti pelakunya adalah orang Islam sendiri yang terkontaminasi dengan aliran radikal yang sektarianisme. Kelompok atau aliran ini cenderung menjadi salah satu penganut Islam garis keras atau yang disebut sebagai kelompok Salafi Jihadi. 

Kelompok ini memang beranggapan bahwa  melakukan pengeboman atau penyerangan terhadap kelompok yang dianggapnya musuh adalah kewajiban agama. Jadi mengebom masjid atau menyerang kantor MUI tentu saja diperbolehkan dalam doktrin mereka.

Kesalahan penafsiran seperti ini yang kemudian membuat mereka bisa melakukan tindakan yang dianggap oleh lainnya sebagai kesalahan teologis. Oleh karena itu, kebanyakan kaum radikal jihadis beranggapan bahwa tindakan amaliyat bisa dilakukan kapan saja, dimana saja dan kepada musuh siapa saja. Disebabkan oleh anggapannya bahwa Negara Indonesia dan semua aparatnya adalah musuh, maka mereka juga bisa diteror dengan kekerasan aktual.

Masalahnya timbul, ketika pelaku tindakan teror di kantor MUI tersebut tewas ditempat, atau sengaja diskenariokan sebagai tewas misterius. Karena belajar dari kasus skenario Sambo, Km 50, tewasnya Munir, dan lain-lain, pihak keamanan dikesankan sudah terbiasa merekayasa kasus untuk membangun opini. Negara melalui aparat keamanannya (dalam hal ini Polri) mempunyai kapasitas super body untuk merekayasa kasus apapun. Padahal dalam sebuah negara demokratis tidak boleh ada lembaga atau institusi pemerintah yang memiliki kekuatan berlebih atau super body tanpa pengawasan dari rakyat.

Maka menjadi tugas Polri untuk berani melakukan revolusi mental dan membuang asumsi adanya ketidakberesan dalam kematian pelaku serangan di kantor MUI dan kasus-kasus lainnya. Karena terkesan selama ini adanya manipulasi dan mafia yang bermain untuk berbagai kepentingan dalam setiap pengusutan kasus-kasus besar. Tidak terkecuali tewasnya penyerang di kantor MUI yang terkesan lambat pengungkapannya telah menciptakan spekulasi liar di tengah-tengah masyarakat. Kecuali pihak aparat bisa membuktikan secara transparan dan otentik bahwa pelaku penyerangan tersebut memang lone wolf dan tidak terkooptasi dengan jaringan teroris barulah bisa diharapkan isu tersebut akan tamat, termasuk kenapa mati atau dimatikan.

Yang pasti, teror yang dilakukan pria asal Lampung di kantor MUI tersebut masih menyimpan misteri. Walaupun sudah dibantah oleh Densus 88 yang menyimpulkan tidak adanya kaitan dengan jaringan teroris, namun munculnya kembali teror kepada ulama bisa menguatkan dugaan bahwa gerakan radikal tidak lumpuh. Dan setiap kasus yang bersifat extra ordinary crime pasti tidak berdiri sendiri, ada operator dibelakangnya. Sedangkan begal saja tidak melakukan kejahatannya sendiri, ada gang dan kelompok, apalagi tindak kejahatan yang luar biasa dan radikalisme, pastilah ada aktor pemikir dibelakangnya.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement