REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pangeran Charles menjadi pewaris takhta kerajaan setelah kematian Ratu Inggris Elizabeth II pada pekan lalu. Raja Inggris Charles III yang baru, akan secara resmi diproklamirkan sebagai raja. Dia sebut-sebut memiliki minat terhadap islam.
Dilansir dari laman Ahram pada Rabu (14/9) “Raja Charles III: Seorang teman dunia Arab”, itulah yang diproklamirkan harian Arab Saudi berbahasa Inggris dalam edisi 10 September.
Karya itu memuat foto dari 2014 Raja Inggris yang baru mengenakan jubah tradisional Saudi dan memegang pedang selama kunjungan ke ibu kota Saudi, Riyadh. Sebuah gambar yang mengingatkan pada perwira intelijen Perang Dunia I Inggris T E Lawrence yang mendukung pemberontakan Arab melawan bekas Kekaisaran Ottoman.
“Dia menentang perang di Irak dan belajar bahasa Arab: cari tahu tentang hubungan Charles dengan Islam dan urusan Arab,” demikian judul berita utama di jaringan TV Aljazeera Qatar pada 9 September.
Sementara itu, Harian berpengaruh Saudi, Al-Sharq Al-Awsat menyatakan bahwa “Raja Charles III adalah pecinta budaya Arab dan duta dialog antaragama.” Middle East Eye (MEE) yang berbasis di London, Qatar, mengamati bahwa Raja Inggris yang baru adalah “raja yang paling pro-Islam dalam sejarah Inggris.”
“Seorang pria yang bijaksana, dia telah mempelajari Islam secara mendalam, bahkan sampai belajar bahasa Arab untuk membaca Alquran,” tulis MEE. “Raja baru adalah raja paling Islamofilia dalam sejarah Inggris. Kontras dengan pemerintahannya (konservatif baru) sangat mencolok.”
Kurang dari setahun yang lalu, Pangeran Charles dan istrinya melakukan tur luar negeri pertama mereka semenjak awal pandemi Covid-19. Destinasi pilihannya pada November 2021 adalah Yordania dan Mesir.
Kunjungan dua hari ke Mesir menyoroti apa yang bisa menjadi ringkasan minatnya yakni, Islam dan dialog antaragama, perubahan iklim, dan kerajinan tradisional.
Setelah bertemu dengan imam besar Al-Azhar, Ahmed Al-Tayyeb, imam itu menerbitkan sebuah unggahan Facebook yang memuji perspektif Barat seimbang Kerajaan Inggris tentang Islam dan Muslim.
Untuk menghormati penghargaan ini, seorang cendekiawan Muslim, Nageh Ibrahim, menulis sebuah kolom yang menjelaskan posisi Charles yang bernuansa Islam. Sebuah postur unik yang menonjol di tengah sebagian besar wacana Barat arus utama yang negatif tentang keyakinan Muslim.
Ibrahim menulis, inti dari peran Kerajaan Inggris dalam mengadvokasi dialog antaragama, adalah empatinya terhadap Islam dan Timur Tengah. Terutama empati yang ia suarakan dalam wacananya.
Ibrahim mengatakan bahwa dia telah mengamati Charles selama lebih dari 30 tahun. “(Dia) tampak lebih berpengetahuan daripada banyak Muslim tentang esensi Islam dan lebih objektif daripada beberapa sekularis Arab yang menganggap Islam sebagai agama yang cacat,” ungkap Ibrahim.
Charles digambarkan sebagai salah satu orang terbesar yang telah menunjukkan pemahaman yang mendalam dan empati tentang Islam dan Alquran. Ibrahim mengenang, bahkan menimbulkan desas-desus palsu, bahwa ia telah masuk Islam.
Ibrahim menyoroti pidato terkenal Raja Inggris 2010 yang menandai peringatan 25 tahun Pusat Studi Islam Oxford, yang telah ia dukung sejak 1993. Berjudul "Islam dan Lingkungan", pidato 50 menit di Teater Sheldonian Universitas Oxford ini berhasil menjalin hubungan filosofis antara dua topik favorit Charles.
Dia mengkritik pendekatan sains yang dominan dan mekanistik budaya Barat atas segala hal lainnya, termasuk agama, menurutnya, telah merusak pandangan dunianya. Dia menyandingkan ini dengan Islam, menawarkan pandangan yang sepenuhnya terintegrasi tentang Semesta di mana agama dan sains, pikiran dan materi, semuanya merupakan bagian dari satu kesatuan yang hidup dan sadar.
“Dunia Islam adalah penjaga salah satu perbendaharaan terbesar dari akumulasi kebijaksanaan dan pengetahuan spiritual yang tersedia bagi umat manusia,” katanya.
Di samping itu, kunjungan resmi pertama Charles ke Wilayah Pendudukan Palestina dan Israel yakni pada 2020. Dalam pidato singkatnya di Betlehem, ia merujuk pada ko-eksistensi Kristen-Muslim yang bersejarah di kota tersebut.
“Hati saya hancur melihat begitu banyak penderitaan dan perpecahan,” kata dia.
“(Tak seorang pun) melewatkan tanda-tanda kesulitan dan situasi yang Anda hadapi,” katanya, mengacu pada pendudukan Israel, tanpa menyebutkan namanya.