Selasa 23 Aug 2022 20:45 WIB

Gender Nonbiner Menyimpang dan Melampaui Batas, Harus Disembuhkan

Amat penting menanamkan cara berpikir yang benar kepada generasi muda.

Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Hidayatullah Imam Nawawi.
Foto: Dok Pemuda Hidayatullah
Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Hidayatullah Imam Nawawi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  -- Dalam Islam,  gender hanya dikenal laki laki dan perempuan. Keduanya merupakan fitrah kehidupan di  mana Allah SWT meciptakannya untuk berpasang-pasangan.

Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Hidayatullah Imam Nawawi mengatakan jika ada gender di luar dua kelamin tersebut seperti klaim gender nonbiner, maka itu adalah bentuk kesombongan, menyimpang, dan melampaui batas.

Imam menilai, paradigma Barat tentang gender telah terlampau jauh merasuk ke dalam sistem berpikir masyarakat sehingga acapkali dianggap benar dan yang menerimanya diglorifikasi sebagai open minded (pikiran terbuka).

Padahal, terang Imam, Islam dengan konfrehensif mengatur relasi gender yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan persamaan keduanya di  hadapan Allah SWT sebagai hamba dan khalifah di bumi dengan kapasitas fitrahnya masing masing.

"Saya sendiri pun heran, mengapa kita sebagai bangsa Indonesia, lebih khusus umat beragama, harus menerima, mengakui dan menghormati nilai-nilai dunia global begitu saja," kata Imam dalam obrolan dengan media di Jakarta, Selasa, 25 Muharram 1444 (23/8/2022).

"Pada saat yang sama, mengapa dunia global tidak menghargai pandangan bangsa Indonesia, terkhusus umat Islam. Mengapa tidak setara seperti itu?"  ujarnya  heran.

Penulis buku Mindset Surga ini pun mempertanyakan mengapa paradigma Barat tentang gender begitu amat dipaksakan, yang, siapapun berbeda dengannya, akan diinsinuasi sebagai pelanggar hak asasi manusia (HAM).

"Kemudian 'manusia', mengapa harus versi Barat semata. Kenapa versi Indonesia, versi umat Islam tentang manusia tidak dapat pengakuan dunia," tanyanya seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

Dia menjelaskan seraya bertanya, ketika menyebut HAM, maka “M” alias manusianya itu manusia yang mana, yang berpaham apa? “Lalu kalau benar dunia saling menghargai, mengapa 'M'  Barat harus kita terima sebagai 'M' Indonesia? Sedangkan Barat tidak mau menerima 'M' Indonesia. Apakah ini bukan penjajahan  atas istilah 'manusia'? Lebih dalam lagi, apakah begini keadilan dalam menghargai sama-sama manusia modern,” kata Imam.

Di sisi lain, Pancasila sebagai falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah mendemarkasi secara tegas dan lugas bahwa nilai nilai ketuhanan dan keadaban moral hendaknya menjadi penuntun. "Lantas, kalau kita terima pandangan global yang memaksa seperti itu, lalu di  mana kita letakkan Pancasila," tukasnya.

Oleh sebab itu, menurut Imam, amat penting menanamkan cara berpikir (framework) dan pandangan hidup (worldviews) yang benar kepada generasi muda sebagaimana tuntunan Ilahi agar mereka tak tercerabut dari akarnya sebagai bangsa yang beradab dan berketuhanan.

"Di  samping itu, mereka yang terperosok dan terbawa arus, harus dibantu untuk disembuhkan dengan melakukan gerakan pencerahan dan penyadaran secara terus-menerus," tandasnya.

Seperti diketahui, belakangan ini sedang viral isu identitas nonbiner (non binary) yang dilontarkan oleh seorang mahasiswa di Makassar, yaitu identitas gender yang tidak merujuk secara spesifik pada salah satu gender seperti perempuan maupun laki-laki. Ia tak bisa mengasosiasikan dirinya ke dalam jenis kelamin pria atau wanita.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement