Bab kedua novel ini, di beri judul Mahound, menggambarkan episode awal perikehidupan sosok Muhammad saw sebagai utusan Allah SWT. Tanpa tedeng aling-aling Rushdie menyebut Mahound sebagai si pedagang (the businessman) yang gila (a looney tune, a gone baboon) di saat pertama melihat Malaikat Jibril. Ia juga menyebut Allah dengan allgood dan allahgod.
Dan di bagian lain, Allah disebut sebagai jauh dari abstrak ... (sedang) duduk di tempat tidur, lelaki seusia dirinya, rambutnya mulai botak, berkaca-mata dan tampaknya kepalanya mulai berketombe.
(The angel Gibreel’s vision of the Supreme Being is described as not abstract in the least. He saw, sitting on the bed, a man of about the same age as himself, balding, wearing glasses and seeming to suffer from dandruff).
Di saat sakaratul maut, di Bab VI, Return to Jahilia, digambarkan karakter Mahound ini bukannya dihampiri malaikat Israil (di Novel disebut Azraeel), melainkan oleh berhala Lata (Al- Lat) yang berwujud perempuan. Kepada sosok Al-Lat ini Mahound berterima kasih karena telah ‘membu nuhnya’.
Dan tokoh Ayesha yang mengumumkan kematian Mahound, yang pada kenyataannya adalah shahabat Abu Bakr yang menegaskan wafatnya Rasul sambil menyitir ayat bahwa Rasul adalah manusia biasa yang merasakan mati dan hanya Allah yang layak disembah yang tidak pernah mati.
Sejumlah hal lain yang jelas menyinggung perasaan dan keyakinan umat Islam adalah di Bab II, Rushdie menyebut Ibrahim a.s. sebagai the bastard (anak haram) karena dengan seenaknya mengklaim bahwa Tuhanlah yang menyuruhnya meninggalkan istri dan anaknya di padang pasir.
Rushdie ingin menegaskan bahwa manusia dengan mudah bersembunyi di balik nama Tuhan atas halhal absurd yang dilakukan. Selain itu di Bab VI Rushdie juga menyebutkan bahwa ada duabelas pelacur dalam sebuah rumah pelacuran bernama The Curtain (Hijab) yang menyaru dengan menggunakan nama istri-istri Nabi.
Meskipun ia menggunakan tanda kutip tiap kali menyebutkan nama-nama tersebut, tetap saja tidak mengubah fakta bahwa ia menghina para istri Nabi.
Rushdie juga menggunakan nama Jibril (Gibreel) untuk sosok bintang film dan Shalahuddin (Saladin) untuk tokoh setan. Dua tokoh ini memang menjadi guide dalam novel ini karena kisah merekalah yang digunakan Rushdie memintal alur ceritanya, dari satu mimpi ke mimpi yang lain, lengkap dengan segala perikehidupan maksiatnya.
Nama Ayesha (Aisah, istri Rasul) digunakan Rushdie di dalam novel ini untuk merujuk kepada sejumlah tokoh di tiap plotnya, dalam bab-bab yang berbeda.
Ada yang berperan sebagai pelacur dalam plot Mahound (Bab VI, Return to Jahilia), ada yang sebagai sosok perempuan remaja India fanatik yang mengajak pengIkutnya untuk menyebrangi laut guna mencari pengampunan dosa dalam plot Titlipur (Bab IV,Ayesha dan VIII The Parting of the Arabian Sea), dan sebagai penguasa Desh yang kejam dalam plot Imam (Bab IV).
Kota Jahilia mengacu kepada kota Makkah. Berhala Baal berperan sebagai seorang penyair yang kemudian menjadi ‘mucikari’ The Curtain membawahi para pelacur yang menggunakan nama para istri Nabi.
Daniel Pipes, kolumnis garis keras di Amerika Serikat, bahkan juga bersepakat bahwa banyak elemen dalam novel ini yang menyinggung umat Islam. Misalnya saja menurut Pipes, soal syariah Islam yang di tangan Rushdie menjadi bual-bualan aneh karena mengatur segala hal termasuk (maaf) buang angin.
Atau membuat seolah Rasul (melalui sosok Mahound) percaya berhala Al-Lat itu ada atau setidaknya nyata di mata Rasul. Novel ini tidak hanya menghina keyakinan umat Islam, tapi merupakan karya sastra yang oleh sebagian kalangan kritikus Muslim dianggap bad fiction.
Dalam bukunya, Freedom of Expression in Islam, (Selangor: Ilmiah Publishers, 1998), Prof Mohammad Hashim Kamali menggambarkan cara Rushdie menggambarkan istri-istri Rasulullah SAW sebagai simply too outrageous and far below the standards of civilised discourse.
Penghinaan Rushdie terhadap Allah dan Alquran, tulis Hashim Kamali, are not only blasphemous but also flippant. Karena banyaknya kata-kata kotor yang digunakannya, banyak penulis Muslim menyatakan, tidak sanggup mengutip katakata kotor dan biadab yang digunakannya.
The Satanic Verses adalah novel keempat karya Salman Rushdie, yang diterbitkan pada 1988, dan sebagian terinspirasikan dari kisah hidup Muhammad. Novel ini menghasilkan kontroversi yang luar biasa. Buku ini tidak boleh beredar di India, dan banyak dibakar di berbagai belahan dunia.
Novel ini juga menyulutkan kerusuhan di Pakistan pada 1989. Kini Salman Rushdie hidup di Inggris dan hukuman mati atasnya belum dicabut oleh pemerintah Iran.