REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Ketimpangan sosial menjadi salah satu bukti kegagalan kapitalisme yang membahayakan peradaban manusia. Kapitalisme telah mengakibatkan kehidupan sosial-budaya dan politik mengalami dekadensi dan menuju kehancuran.
Agama Islam yang dibawa Rasulullah SAW15 abad silam sudah menawarkan solusi untuk mencegah dan mengatasi ketimpangan sosial. “Islam mengharamkan pola hidup konsumtif, boros, dan hedonism serta penumpukan harta sebagai penyebab utama ketimpangan sosial,” tegas Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS saat menjadi narasumber Diskusi Online Ramadhan 1443 H “Islam dan Ketimpangan Sosial” yang diadakan oleh Majelis Rayon KAHMI-Universitas Hasanuddin, Jumat (22/4).
Prof Rokhmin menjelaskan, sejak 15 abad lalu, Islam seperti yang tersurat dan tersirat dalam Alquran dan Hadits Rasulullah SAW telah mengharamkan semua bentuk praktik ekonomi atau muamalah yang mengakibatkan penumpukan harta pada segelintir orang (kelompok masyarakat) dan ketimpangan sosial.
“Contohnya, Islam secara tegas melarang: (1) riba (QS. 2: 275, 276, 278, dan 279), (2) kita menghisap keringatnya orang-orang yang bekerja kepada kita dengan memberikan upah (salary) yang kecil (tidak menyejahterakan pekerja), (3) praktik penimbunan modal dan barang, seperti kasus mafia minyak goreng yang tengah berlangsung sekarang, dan perbuatan lain yang menyebabkan ketimpangan sosial (QS. Al-Hasyr [59]: 7),” paparnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Prof Rokhmin mengemukakan, Islam pun mengharamkan pola hidup (life style) yang membuat manusia menumpuk harta dari jalan haram, dan menggunakannya untuk kemaksiatan, seperti: konsumtif, boros, berlebihan (excessive), hedonis; dan 5 M (mabok, madon/zina, maen/berjudi, maling/mencuri, dan madat/narkoba).
Islam mewajibkan umatnya untuk hidup sederhana, tidak boros. Dalilnya antara lain QS Al-Furqon: 67 dan Hadits : “Makanlah, bersedekahlah, dan berpakaianlah, dengan tidak berlebihan dan tidak angkuh.” (Hadis Shahih, Riwayat al-Nasa'i: 2512, Ibnu Majah: 3595, dan Ahmad: 6408).
Islam mengajarkan: Makanlah pada saat lapar, dan berhentilah sebelum kenyang. Sebab, kekenyangan merupakan bagian dari perbuatan yang melampaui batas.
Sebaliknya, Islam mewajibkan umatnya untuk menyayangi bukan hanya manusia (Muslim maupun non-Muslim), tetapi juga semua makhluk ciptaan Allah Azza wa Jalla (rahmatan lil a’lamin) (QS. Al-Anbiya [21]: 107).
Untuk mengatasi pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial-ekonomi, Islam mewajibkan umatnya untuk mengeluarkan zakat fitrah dan zakat mal; menyunahkan infak, sedekah, dan wakaf berupa harta benda, tenaga, fikiran, Iptek, dan amal saleh lainnya. Antara lain terdapat pada QS.2: 43 dan 254.
QS Az Zariyat ayat 19 menegaskan bahwa orang-orang yang bertakwa itu selalu taat dalam melaksanakan ajaran Allah, dan mereka juga menyadari bahwa harta benda yang mereka miliki sesungguhnya ada hak yang mesti dikeluarkan, baik berupa zakat maupun sedekah, untuk orang miskin yang meminta bantuan dan orang miskin yang tidak mengulurkan tangan untuk meminta kepada orang lain.
Islam mengajarkan, bahwa menumpuk harta, mencari dan membelanjakan harta secara haram dilarang oleh Allah SWT (QS Ali Imran: 180). Islam juga mengajarkan: Sebaliknya, umat Islam diwajibkan untuk berbagi harta, ilmu, dan rezeki lainnya kepada sesama insan yang membutuhkan pertolongan, kaum fakir, miskin, dan musafir (QS Ali Imran:92).
Tidak kalah pentingnya, Islam juga mewajibkan umatnya untuk berlaku jujur, adil, dan menyayangi sesama, rahmatan lil a’lamin. (QS Al-Maidah: 8). “Maka, bila manusia mengamalkan Islam secara kaffah (keseluruhan) dan ‘itibba’ (menurut Rasulullah saw), tidak mungkin terjadi ketimpangan sosial yang sedemikian parah seperti di era kapitalisme ini,” tegas Rokhmin.
Konsep Islam itu telah dibuktikan keampuhannya pada masa keemasan Islam (abad ke-7 sampai abad ke-17). “Ketika umat Islam melaksanakan Islam secara kaffah dan ittiba’ atau mengikuti ajaran Rasullah (Fathul Makkah sampai dengan sebelum Revolusi Industri), umat Islam menguasai Iptek, maju, hidup sejahtera, dan menguasai 2/3 wilayah dunia,” ujar Rokhmin.
Ia menyebutkan, saat itu, umat Islam menjadi pusat keunggulan (center of excellence) Iptek dunia, dan para ilmuwan dan teknolog dari seluruh penjuru dunia belajar kepada ilmuwan dan teknolog muslim secara gratis (tidak perlu hak paten).
“Perguruan tinggi pertama dan terbaik di dunia adalah Bayt Al-Hikmah di Baghdad pada 832 M di masa Khalifah Al-Mansur (754 – 775 M) dan Al-Ma’mun (813 – 833 M), Kekhilafahan Abasyiah. Oxford University dan Sorbone University meniru Bayt Al-Hikmah,” ungkapnya.
Ia menambahkan, ketika itu perekonomian; pendidikan; interaksi sosial, politik, dan budaya berjalan atas dasar persaudaraan karena Allah, Tuhan Pencipta alam semesta. Agama, keyakinan, jiwa, harta, dan hak-hak sipil warga non-muslim dilindungi oleh negara Islam.
“Kehidupan sosial berlangsung secara harmonis, anak-anak yatim terpelihara, yang kaya membantu dan memberdayakan (empowering) yang miskin, yang miskin tidak iri terhadap yang kaya dan bekerjasama dengan yang kaya dengan mengeluarkan kemampuan terbaiknya,” paparnya.
Ia juga menelaskan, ekonomi dan perdagangan diatur dalam koridor efisiensi dan keadilan, tidak ada kecurangan serta penipuan karena masyarakatnya memahami dan mentaati hukum Allah dan Rasul Nya secara istiqamah.
Masyarakatnya mencintai dan gemar menuntut Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), dan pemerintahnya mendorong serta memfasilitasi aktivitas penelitian, pengembangan, penguasaan, dan penerapan Iptek dalam segenap aspek kehidupan.
Para pemimpinnya (kepala negara, menteri, gubernur, bupati, dan lainnya) hidup sederhana dan sangat mencintai rakyatnya.
Hasilnya, kata dia, pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Azis, Harun Al-Rasyid, Muhammad Al-Fatih, dan lainnya, tidak ada satu pun penduduk Khilafah (Negara) Islam yang miskin. Bahkan, zakat, infak, sedekah, dan Iptek pun diekspor ke seluruh penjuru dunia.
“Hampir seluruh Iptek modern dari zaman Revolusi Industri sampai sekarang berasal dari karya-karya monumental ilmuwan Muslim di era kejayaan umat Islam,” kata Rokhmin mengutip Wallace-Murphy, 2007; dan Qureshi, 2007.