Jumat 18 Mar 2022 18:12 WIB

Gagal Nikah Beda Agama Gugat UU Perkawinan dan Jawaban Hakim   

Gara-gara gagali menikah beda agama, pria ajukan gugatan ke MK

Rep: Mimi Kartika/ Red: Nashih Nashrullah
Menikah beda agama  (ilustrasi). Gara-gara gagali menikah beda agama, pria ajukan gugatan ke MK
Foto:

Kuasa hukum pemohon yang lainnya, Asima Romian Angelina berpendapat, sebagai negara hukum yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha-Esa, dalam penyelenggaraan pemerintahan, negara tidak dapat memisahkan urusan agama dan negara. Akan tetapi, artinya bukan juga negara didasarkan pada suatu ajaran agama tertentu. 

Sebab, kata dia, kemerdekaan memeluk agama yang dimiliki menjadi hak setiap penduduk di Indonesia tanpa terkecuali.

Oleh karena itu, pemohon menilai permasalahan agama dan negara harus dipisahkan dan intervensi negara dalam urusan agama hanya sebatas lingkup administrasi yang berhubungan dengan fasilitas, sarana, dan prasarana.

"Artinya negara tidak mencampuri urusan ibadah agama yang ada di Indonesia, tetapi menjamin keberlangsungan peribadatan," tutur Asima.

Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tidak dapat dan tidak memiliki pengaturan tentang perkawinan beda agama, sehingga perlu dilakukan penambahan pengaturan tentang hal tersebut. Pemohon juga meminta MK menambahkan hal pada Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan.

"Perkawinan dengan berbeda agama dan kepercayaannya dapat dilakukan dengan memilih salah satu metode pelaksanaan berdasarkan pada kehendak bebas oleh para mempelai dengan pengukuhan kembali di muka pengadilan," kata dia.

Baca juga: 3 Tanda yang Membuat Mualaf Eva Yakin Bersyahadat

Sementara itu, Hakim MK Suhartoyo meminta argumentasi yang jelas dari pemohon mengenai perkawinan beda agama yang tidak diatur dalam norma Undang-Undang. Dia mengatakan, dalam praktiknya meskipun ada perbedaan agama maupun kewarganegaraan, pencatatan perkawinan bisa dilakukan.

"Seolah olah orang untuk menikah itu agamanya harus sama, kan begitu, sehingga baru bisa melaksanakan perkawinan. Padahal dalam praktik dengan adanya perbedaan agama bahkan perbedaan kewarganegaraan, itu sebenarnya tetap bisa dilakukan pencatatan, hanya persoalannya adalah tata cara, tata cara pengucapan akad nikahnya itu menurut cara apa?" tutur dia.

 

"Itu yang kemudian menjadi persoalan adalah apakah itu menjadi persoalan konstitusionalitas yang kemudian menghalangi seseorang terhambat untuk melakukan perkawinan ataukah sebenarnya itu hanya salah satu cara yang kemudian tidak menghambat keabsahan daripada perkawinan itu sendiri," kata Suhartoyo.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement