Abdein mendesak hadirin untuk menemukan cara untuk melawan perang agama ini. Hal ini karena mengabaikan sentimen anti-Muslim hanya akan memberi agresor lebih banyak ruang dan kesempatan. "Kita perlu merayakan kepemimpinan yang mengambil langkah nyata setelah Serangan Christchurch," kata Abdein.
Dia juga memuji Pertemuan Darurat yang diadakan di Istanbul pada 2019 untuk membahas serangan teroris di dua masjid di Selandia Baru.
Sementara Mantan Wakil Tetap Republik Islam Pakistan untuk PBB, Duta Besar Zamir Akram mengatakan, meskipun lebih dari 200 juta Muslim tinggal di India, sebuah versi fasisme sedang berlangsung di tangan Hindutva. Jutaan Muslim menderita diskriminasi agama dan ras, pembersihan etnis, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan bahkan genosida.
Duta Besar Zamir mengatakan, muslim menghadapi masalah dengan dalih penyembelihan sapi dan makan daging sapi, menikahi orang Hindu. Sementara serangan terhadap masjid, pemaksaan pindah agama ke Hindu, penghapusan nama Muslim dari jalan-jalan, penjualan wanita Muslim di aplikasi seluler dan seruan terbuka untuk genosida terhadap Muslim telah dinormalisasi dalam wacana nasional negara itu.
Zamir mengatakan, bahwa pemerintah Modi menggunakan Citizenship Amendment Act (CAA) sebagai senjata untuk mencabut hak Muslim India dan memaksa mereka keluar dari negara itu.
Direktur Komunitas Muslim dan Minoritas OKI, El Habib Bourane mengatakan, meskipun populasi Muslim terbesar tinggal di Asia, Muslim menderita diskriminasi sosial dan ekonomi. Selain itu, di beberapa negara Asia seperti Myanmar dan India, ada kecenderungan peningkatan penargetan sistemik komunitas Muslim.