REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Warga Palestina memprotes dan menentang pembongkaran rumah-rumah mereka oleh pihak berwenang di kota yang diduduki. Protes tersebut digelar di depan gedung kotamadya Israel di Yerusalem pada Senin (21/2/2022).
Protes itu diselenggarakan oleh penduduk lingkungan Jabal Al-Mukaber, di mana ratusan rumah Palestina menghadapi ancaman pembongkaran. Alasan pembongkaran sebagian besar karena pemiliknya tidak memiliki izin konstruksi.
Salah satu pengunjuk rasa mengatakan kepada media Palestina bahwa para demonstran menuntut diakhirinya kebijakan sepihak Israel, yang hanya bertujuan mengusir warga Palestina dari kota itu. "Ini adalah kebijakan rasis. Orang-orang menyadarinya hari ini, dan mereka sadar akan hukum 'Kemints' Israel, yang akan memaksa ribuan orang untuk melihat rumah mereka dihancurkan,” kata demonstran dilansir dari Al Araby, Selasa (22/2/2022).
Undang-undang 'Kemints' disetujui sebagai amandemen undang-undang perencanaan dan pembangunan Israel oleh Knesset pada 2017. UU ‘kemints’ membatasi kemampuan hakim Israel untuk menunda pelaksanaan perintah pembongkaran. Di sisi lain, hal itu meningkatkan biaya yang dikenakan pada warga Palestina yang mengabaikan perintah untuk menghancurkan properti mereka sendiri. Otoritas Israel menaikkan bangunan sebagai gantinya dan membebankan biaya kepada pemiliknya.
Pada 2019, pengacara Palestina Qais Nasser Arab (48 tahun) mengatakan bahwa dalam sembilan bulan pertama penerapan hukum 'Kemints', otoritas Israel menagih warga Palestina di Yerusalem lebih dari 15 juta shekel atau 4,6 juta dolar AS (Rp 66 miliar) dalam biaya pembongkaran.
“Undang-undang tersebut adalah alat kebijakan Israel untuk mengurangi jumlah orang Palestina di Yerusalem", menurut Munir Nasibeh, seorang ahli hukum dan direktur Klinik Lagal di Yerusalem.
"Sebelum undang-undang itu disahkan, tata kota di Yerusalem sudah diskriminatif," katanya. “Hanya 13 persen dari permukaan kota yang diberikan kepada orang Palestina untuk dibangun dan jumlah itu tidak berubah sejak 1967. Ruang kecil ini sudah penuh sesak dengan bangunan, sementara sekitar 33 persen dicadangkan untuk pemukiman Israel,” tambahnya.
Hasilnya, tambah Nasibeh, antara 50 dan 66 persen bangunan Palestina di Yerusalem dibangun tanpa izin dan karena itu harus dibongkar, bahkan setelah bertahun-tahun membayar biaya kepada otoritas Israel.
Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB di wilayah Palestina - OCHA, antara 25 Januari dan 7 Februari Israel menghancurkan 175 properti Palestina di Yerusalem Timur. Dua di antaranya adalah rumah kembar keluarga Karameh, rumah bagi 16 orang, termasuk 12 anak di bawah umur.
Seorang anggota keluarga, Hamdi Karameh, mengatakan dia dan saudara-saudaranya telah membayar lebih dari 800.000 shekel atau 256 ribu dolar (Rp 3,6 miliar) untuk biaya selama 20 tahun.
Menurut Karameh, pengacaranya telah mencoba upaya terakhir untuk menunda pembongkaran, tetapi kru kotamadya Israel telah tiba tanpa pemberitahuan.
Menurut data resmi Israel, hanya tujuh persen izin bangunan Israel di Yerusalem yang diberikan kepada orang Palestina. Israel menduduki Yerusalem Timur dalam perang Arab-Israel 1967, kemudian mencaploknya pada 1981 dalam sebuah langkah yang secara luas dianggap ilegal menurut hukum internasional.
https://english.alaraby.co.uk/news/palestinians-jerusalem-protest-israeli-demolitions