Meski begitu, ia menyarankan agar ada aturan lain soal pengeras suara di rumah ibadah bagi agama lain. "Tentu di rumah ibadah lainnya juga supaya bisa dilakukan hal yang sama mungkin loncengnya dan seterusnya," ujarnya.
Menag Yaqut mengatakan penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala merupakan kebutuhan bagi umat sebagai salah satu media syiar. Tapi, karena masyarakat Indonesia yang beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya, tindakan ini diperlukan demi merawat persaudaraan dan harmoni sosial.
Berikut ini ketentuan dalam Surat Edaran Menteri Agama tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushola.
1. Umum
a. Pengeras suara terdiri atas pengeras suara dalam dan luar. Pengeras suara dalam merupakan perangkat pengeras suara yang difungsikan/diarahkan ke dalam ruangan masjid/ mushola. Sedangkan pengeras suara luar difungsikan/diarahkan ke luar ruangan masjid/ mushola.
b. Penggunaan pengeras suara pada masjid/mushola mempunyai tujuan:
1) mengingatkan kepada masyarakat melalui pengajian Alquran, sholawat atas Nabi, dan suara azan sebagai tanda masuknya waktu sholat fardhu.
2) menyampaikan suara muazin kepada jamaah ketika azan, suara imam kepada makmum ketika sholat berjamaah, atau suara khatib dan penceramah kepada jamaah.
3) menyampaikan dakwah kepada masyarakat secara luas baik di dalam maupun di luar masjid/ mushola.
2. Pemasangan dan Penggunaan Pengeras Suara
a. pemasangan pengeras suara dipisahkan antara pengeras suara yang difungsikan ke luar dengan pengeras suara yang difungsikan ke dalam masjid/ mushola
b. untuk mendapatkan hasil suara yang optimal, hendaknya dilakukan pengaturan akustik yang baik.
c. volume pengeras suara diatur sesuai dengan kebutuhan dan paling besar 100 dB (seratus desibel).
d. dalam hal penggunaan pengeras suara dengan pemutaran rekaman, hendaknya memperhatikan kualitas rekaman, waktu, dan bacaan akhir ayat, sholawat/tarhim.