Rabu 16 Feb 2022 05:55 WIB

Mualaf Edy, Takluknya Sang Misionaris di Hadapan Surat Al Ikhlas

Mualaf Edy tertarik dengan kandungan surat Al Ikhlas

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Nashih Nashrullah
Mualaf Edy tertarik dengan kandungan surat Al Ikhlas
Foto:

Salah seorang teman Edy yang beragama Islam ialah Abdullah. Kawan Muslimnya itu pernah beberapa tahun menjadi santri di sebuah pondok pesantren. Dengan semangat yang menggebugebu, Edy merasa tertantang untuk mengajak orang Islam itu berdebat soal agama.

Dalam bayangannya saat itu, pamannya pasti bangga bila dirinya dapat memurtadkan seorang Muslim. Terlebih lagi, proses pemurtadan itu terjadi setelah yang bersangkutan berdebat dengannya.

Saya pun mengumpulkan berbagai bahan materi sebagai persiapan debat. Saya pergi ke perpustakaan, tempat ibadah, dan lain-lain. Tak merasa cukup, saya juga membeli beberapa buku tentang Islam, kata dia mengenang.

Waktu itu, Edy sampai-sampai merelakan uangnya untuk membeli mushaf Alquran. Kitab suci Islam itu tidak hanya berisi teks yang berbahasa Arab, tetapi juga terjemahan, hadishadis terkait, dan tafsir. Berbekal berbagai sumber itu, pelaksana misionaris itu penuh percaya diri. Di rumah, ia menghabiskan waktu dengan membaca dan mempelajarinya.

Untuk memahami Alquran dan terjemahannya, ia ternyata memerlukan waktu yang panjang.Tidak cukup dengan beberapa hari atau pekan.Maka selama satu tahun, ia terus mendalami Alquran berserta dengan buku-buku keislaman.

Pada suatu hari, Edy membuka mushaf Alquran secara acak. Ia lalu mendapati surah alIkhlash, beserta terjemahannya. Tiap ayat pada surah itu dibacanya dengan saksama. Akhirnya, ia merasakan suatu pencerahan batin yang luar biasa.

Bahwa Allah itu tidak beranak dan tidak berbapak. Jadi, mengapa saya harus menyembah banyak hal jika sebenarnya cukup dengan menyembah Allah? tanyanya.

Setelah meyakini hal tersebut, Edy bertekad untuk memeluk Islam. Tentu dengan langkah itu ditempuhnya dengan pelbagai pertimbangan.

Sebab, selama ini kebutuhan hidup ditaja oleh pamannya yang seorang pendeta. Tidak hanya makan atau minum sehari-hari. Dirinya juga masih harus menyelesaikan kuliah S-1 yang biayanya ditanggung sang paman.

Sejak memeluk Islam, tentu banyak perubahan yang muncul dalam dirinya. Demikian pula, tantangan hidup kian mengena. Dengan sepenuh hati disadarinya, cepat atau lambat pelbagai kenyamanan hidup yang selama ini diperolehnya akan dilepaskannya. Mulai dari tempat tinggal, biaya kuliah, dan bahkan uang saku sehari-hari.

Dengan dicabutnya semua fasilitas itu, dirinya justru merasa bersyukur. Sebab, kini ia dapat hidup dengan lebih mandiri dan merdeka. Tiap keputusan pasti memiliki konsekuensi.

Saat berusia 25 tahun, Edy bertemu dengan seorang rekan Muslim. Keduanya telah lama berteman, setidaknya sejak awal 1998.

Baca juga: Pidato Guru Besar Hamid Fahmy Zarkasyi: Pandangan Hidup Inspirasi Peradaban Islam

Mulanya, rekan Muslim tersebut berpikir bahwa Edy akan mengajaknya berdebat tentang agama. Namun, hal yang akan disampaikannya jauh berbeda. "Tolong menjadi saksi, saya mau bersyahadat. Kalimat ini yang saya sampaikan kepada rekan saya itu," ujar dia.

Abdullah tentu terkejut atas apa yang diucapkan Edy. Ia pun mengajukan berbagai pertanyaan untuk menghilangkan keheranannya itu.

Hingga akhirnya ia percaya, Edy benarbenar tulus ingin memeluk Islam. Pada saat itulah, Abdullah menjadi saksi keislaman rekannya itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement