Rabu 26 Jan 2022 23:28 WIB

Kiai Yudian Wahyudi, Ushul Fiqh, dan Pancasila

Prof Yudian menggunakan ushul fiqih untuk pembacaan lahirnya Pancasila

Ilustrasi Pancasila dan Agama. Prof Yudian menggunakan ushul fiqih untuk pembacaan lahirnya Pancasila
Foto:

Oleh : Syaiful Arif. Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila

 

Namun pada saat bersamaan, para tokoh Islam dan para pendiri bangsa pada umumnya juga menempatkan ketuhanan (din) pada posisi niscaya (dlaruriyat) dalam negara, melalui penempatan sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjiwai, baik dasar negara maupun Undang-Undang Dasar.  

Pada titik inilah Kiai Yudian menegaskan pentingnya ushul fiqh dan maqashid al-syariah dalam kehidupan berbangsa. Sebab ushul fiqh merupakan metodologi mendialektikakan nash (yang bersifat Ilahi tetapi terbatas dari segi jumlah teksnya), dengan ‘urf (peradaban atau sejarah) yang bersifat wadl’i (duniawi) tetapi tidak terbatas dari segi jumlah, karena selalu berkembang. Dalam kondisi ini, berbagai hal bisa diulang-alik bergantung dengan sebab (causa) hukumnya. 

Misalnya seperti yang dilakukan para pendiri bangsa tersebut. Pada awalnya para tokoh Islam memperjuangkan syariat Islam dalam Pancasila versi Piagam Jakarta, karena syariat merupakan hal niscaya (dlaruriyat) dalam Islam. Untuk itu, penyematan syariat dalam Pancasila Piagam Jakarta menjadi kebutuhan (hajiyat) untuk menopang hal dlaruriyat tersebut. Akan tetapi ketika sebab hukumnya berubah, yakni terjadi kemungkinan perpecahan bangsa akibat penyematan syariah; para tokoh Islam lalu mengganti metode perumusan hukum.  

Hal tersebut dilakukan dengan menjadikan persatuan sebagai hal yang dlaruriyat, sehingga penghapusan “tujuh kata” menjadi hal hajiyat untuk mendukung persatuan tersebut. Perubahan logika ini didukung oleh keberadaan frasa baru yang lebih dlaruriyat dibandingkan syariat, yakni Ketuhanan Yang Maha-Esa yang merupakan cerminan tauhid. Seperti diketahui, tauhid lebih fundamental dari syariat, karena syariat merupakan turunan dari tauhid. 

Ini pula yang menjadi alasan Kiai Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo dalam mengganti “tujuh kata” syariat, dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pemahaman Kiai Wahid dan Ki Bagus tentang makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai cerminan dari tauhid inilah yang dijadikan landasan Muktamar ke-27 NU di Situbondo (1984) dan Muktamar ke-41 Muhammadiyah di Surakarta (1985) untuk menerima Asas Tunggal Pancasila di era Orde Baru.   

 

Berdasarkan penggunaan ushul fiqh dan maqashid al-syari’ah oleh Kepala BPIP, Prof KH Yudian Wahyudi dalam diskursus Pancasila ini, maka tidak perlu lagi dasar negara dibenturkan dengan agama. Sebab agama bukan doktrin beku yang dipaksakan tanpa ilmu. Sebaliknya, ia merupakan “metodologi yang hidup” yang lentur dan kontekstual, demi menegakkan Rahmat Allah SWT, demi memuliakan martabat kemanusiaan.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement