Rabu 26 Jan 2022 23:28 WIB

Kiai Yudian Wahyudi, Ushul Fiqh, dan Pancasila

Prof Yudian menggunakan ushul fiqih untuk pembacaan lahirnya Pancasila

Ilustrasi Pancasila dan Agama. Prof Yudian menggunakan ushul fiqih untuk pembacaan lahirnya Pancasila
Foto:

Oleh : Syaiful Arif. Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila

Atas keberhasilan lobi tersebut, Kiai Yudian memberikan penghormatan kepada Bung Hatta. Menurutnya, “Dengan menghadirkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Hatta menghantam komunisme sejak dini, tetapi sekaligus mengibarkan bendera Tauhid. Di sinilah letak strategis konstitusional Hatta. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kata Hatta, adalah Tauhid bagi umat Islam…Tujuh kata (Piagam Jakarta) itu, bagi Hatta, adalah gincu, tampak tetapi tidak berpengaruh. Sebaliknya, Yang Maha Esa adalah garam, karena tidak memamerkan identitas Islam tetapi sangat berpengaruh. Substansi, bagi Hatta, lebih penting daripada kulit.” (Wahyudi, 2007: 35).  

Penggantian “ketuhanan bersyariah” dengan Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilakukan Bung Hatta, menurut Kiai Yudian, berpijak pada usulan awal Bung Karno pada pidato Pancasila di 1 Juni 1945 yang mengusulkan Ketuhanan Yang Maha-Esa.

Sebagaimana kita ketahui bersama, pada 1 Juni, Bung Karno memang menyatakan bahwa, “Prinsip yang kelima hendaknya menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip ketuhanan!” Bung Karno melanjutkan, “Hatiku akan berpesta rasa, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!” (Soekarno, 1947: 51). 

Berdasarkan kemauan para tokoh Islam menghapus “tujuh kata” dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka menurut Kiai Yudian, para tokoh tersebut telah menerapkan kaidah fikih dalam menciptakan solusi kehidupan berbangsa. Terdapat beberapa kaidah fikih yang digunakan di sini. 

Pertama, dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih. Artinya, menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mengejar kebaikan. Menghindari pecahnya Indonesia karena ancaman warga Indonesia Timur yang akan memisahkan diri dari Indonesia jika “tujuh kata” masih diberlakukan.

Penghindaran terhadap perpecahan bangsa ini lebih didahulukan oleh para tokoh Islam, daripada mengejar kebaikan, yakni penegasan kewajiban menjalankan syariah Islam di dalam dasar negara. Apalagi, Belanda masih mengintai kemerdekaan RI, sehingga perpecahan bangsa akan berakibat pada gagalnya kemerdekaan.  

Kedua, ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu. Artinya, apa yang tidak bisa didapatkan semuanya, jangan ditinggal semuanya. Keinginan mendirikan Negara Islam dari Sabang sampai Merauke tidak berhasil, karena para tokoh Islam lebih memilih menghindari kerusakan daripada mengejar kebaikan.

Namun kegagalan mendirikan Negara Islam tersebut tidak lantas membuat tokoh Islam sama sekali menghilangkan nilai Islam dalam dasar negara. Keberadaan sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang diyakini sebagai cerminan Tauhid, menunjukkan hal tersebut (Wahyudi, 2007: 36). Dengan demikian, meskipun Indonesia bukan negara agama, namun ia merupakan negara ketuhanan. Bukan negara sekular. 

Perbedaan sebab hukum 

Dalam kaitan ini, Kiai Yudian menilai bahwa para tokoh Islam tersebut telah menegakkan maqashid al-syari’ah dalam berbangsa. Menariknya mereka lebih mementingkan kesatuan wilayah (maal) dan kesatuan jiwa (nafs) atas agama demi membangun pride dan generasi penerus (nasl).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement