Selasa 18 Jan 2022 05:59 WIB

Memburuknya Sikap Ekstremis Hindu Terhadap Muslim dan Diamnya India

Perlakuan diskriminatif fekstremis Hindu terhadap Muslim semakin menguat di India

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Nashih Nashrullah
Kerusuhan New Delhi sasar Muslim (Ilustrasi) Perlakuan diskriminatif fekstremis Hindu terhadap Muslim semakin menguat di India
Foto:

"Polisi, negara bagian dan pemerintah bertanggung jawab untuk memastikan kegiatan menghasut kekerasan tidak terjadi. Tetapi negara, melalui kelambanannya, sebenarnya membiarkan kelompok-kelompok ini berfungsi, sambil membahayakan Muslim yang menjadi sasarannya," ujar Grover. 

Kata-kata kasar Pandey dan beberapa seruan lain yang mendukung kekerasan, menurut Verneirs adalah bentuk pidato kebencian yang terburuk. Kejadian itu merupakan kali pertama istilah 'genosida' digunakan dalam politik India. "Mereka diam-diam mendapat dukungan, dalam bentuk sikap diam pemerintah," ucapnya. 

Modi disebut juga memiliki agenda nasionalis Hindu. Ia berkuasa di India pada 2014 dan menjanjikan reformasi dan pembangunan ekonomi bagi negara tersebut. 

Tetapi, mulai dari masa jabatan pertamanya sebagai Perdana Menteri, kelompok minoritas dan analis mengatakan mereka mulai melihat perubahan signifikan dalam ideologi India dari negara sekuler menjadi negara nasionalis Hindu. 

BJP berakar pada Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), kelompok sayap kanan-Hindu yang menganggap Modi sebagai salah satu anggotanya. Banyak anggota RSS adalah penganut ideologi Hindutva yang diajarkan oleh Mahasabha Hindu, menjadikan India tanah umat Hindu. 

Pada 2018, Menteri Dalam Negeri India Amit Shah mengatakan imigran Muslim dan pencari suaka dari Bangladesh adalah "rayap" dan berjanji untuk membersihkan bangsa dari mereka. 

Antara 2015 dan 2018, kelompok main hakim sendiri membunuh puluhan orang, banyak di antaranya adalah Muslim, karena diduga memakan atau membunuh sapi, hewan yang dianggap suci oleh umat Hindu, menurut laporan dari Human Rights Watch. 

Modi secara terbuka mengutuk beberapa pembunuhan, tetapi kekerasan tetap berlanjut. Pada 2017, pemerintah berusaha melarang penjualan dan penyembelihan sapi yang saat ini ilegal di beberapa negara bagian India, secara nasional. 

Human Rights Watch mengatakan, banyak dari pembunuhan yang dituduhkan tidak dihukum sebagian karena penyelidikan polisi yang tertunda dan "retorika" dari politisi partai yang berkuasa, yang mungkin telah memicu kekerasan massa. 

Pada 2019, Parlemen India meloloskan undang-undang yang akan memberi imigran dari tiga negara tetangga jalur menuju kewarganegaraan, kecuali untuk Muslim. Hal ini menyebabkan protes yang panjang dan kecaman internasional. 

Pada Desember 2020, Uttar Pradesh memberlakukan undang-undang anti-konversi yang kontroversial, mempersulit pasangan beda agama untuk menikah atau bagi orang untuk masuk Islam atau Kristen. 

Seorang aktivis hak-hak perempuan dan salah satu pendiri kelompok Muslim Bharatiya Muslim Mahila Andolan, Zakia Soman, mengatakan kegagalan pemerintahan telah memunculkan lebih banyak ekstremis sayap kanan. 

"Komunitas kita menyadari kita telah menjadi warga negara kelas dua di negara kita sendiri. Pemukulan dan kebencian terhadap minoritas menjadi biasa dan normal. Saat intensitas meningkat, racun dan kekerasan dalam bahasa mereka juga meningkat," ujar dia.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement