REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Syuro Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Prof Ahmad Satori Ismail mengatakan, ceramah yang mencakup masalah perbedaan pendapat, pandangan, dan sikap (khilafiyah) seharusnya disampaikan dengan bahasa yang halus agar terhindar dari kesalahpahaman dan perpecahan. Perpecahan, kata dia, disebabkan adanya perbedaaan latar belakang dan keyakinan dari masing-masing masyarakat.
Dia menyarankan para penceramah menghindari pembahasan yang berpotensi menyinggung atau menyudutkan salah satu pihak. Sebelumnya, Pondok Pesantren As Sunah, Lombok Timur diserang ratusan massa. Serangan tersebut disinyalir akibat potongan video ceramah yang diklaim mendiskreditkan sejumlah makam leluhur di Lombok.
“Kalau menurut saya itu kemungkinan karena miskomunikasi, saya juga tidak membenarkan jika ada penyerangan atau penyudutan seperti itu. Ini permasalahannya adalah ada latar belakang dan keyakinan dari masing masing orang, karena itu pendai lebih baik menghindari ceramah yang menyinggung masalah khilafiyah, SARA atau yang berkaitan dengan politik praktis,” katanya kepada Republika.co.id, Selasa (4/1/2022).
Jika ingin membahas lebih lanjut mengenai khilafiyah, radikalisme dan sejumlah isu sensitif lainnya, Guru Besar UIN Jakarta itu menyarankan untuk menggelar diskusi tertutup dengan tujuan mencari solusi bersama. Menurutnya, jika topik sensitif ini disampaikan dalam forum terbuka seperti ceramah atau khutbah maka hanya akan menimbulkan polemik baru dan perpecahan.
“Kalau para ustaz atau dai ini memang ingin membahas lebih lanjut tentang khilafiyah, praktik politik praktis, radikalisme, itu boleh saja, tapi dilakukan dalam forum diskusi yang sifatnya tertutup. tujuannya untuk mencari solusi dan pencerahan, karena kalau disampaikan dalam ceramah yang sifatnya satu arah, ini bisa menimbulkan polemik baru bahkan perpecahan,” ujarnya.
Dia juga menyoroti pentingnya peningkatan kompetensi dai agar para pendakwah dapat meningkatkan kualitas cara penyampaian dan konten dakwah mereka. Melalui peningkatan kompetensi ini, dai juga dapat lebih muda untuk memahami dan mempelajari isu-isu dan solusi yang dibutuhkan masyarakat, tanpa ada kesan menyakiti ataupun menyinggung.
“Peningkatan kompetensi dai itu wajib, supaya bahasa mereka lebih berkualitas dan konten dakwah yang disampaikan juga lebih baik, karena para dai ini harus mengerti ritme sosial dan psikologi masyarakat, solusi yang dibutuhkan masyrakat, sehingga dakwah itu efektif tanpa menyakiti atau menyinggung,” kata dia.