REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Imam Besar Masjid Istiqlal Prof KH Nasaruddin Umar mengatakan, menyambut pergantian tahun, perhelatan muhasabah menjadi kegiatan yang sangat penting dilakukan. Muhasabah, menurut Rektor Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) itu merupakan momen refleksi diri, termasuk mengevaluasi tingkatan keimanan dalam beragama.
Mantan wakil menteri agama ini mengategorikannya menjadi empat tingkatan, yaitu fasik, awam, taat, ahli ibadah, dan ahlullah. Fasik adalah orang yang mengaku Muslim namun tidak menjalankan kewajiban sebagai seorang Muslim. Sedangkan awam diartikan sebagai orang yang mulai menjalankan kewajibannya namun belum sempurna.
“Orang fasik tidak ada upaya untuk mempelajari ajaran Islam, sedangkan orang awam sudah mulai aktif mempelajari agama, meski masih suka malas. Orang fasik tidak menginginkan perubahan positif pada dirinya, sedangkan orang awam sudah berani melakukan perubahan menjadi lebih sholeh,” jelas KH Nasaruddin saat menyampaikan tausiyah dalam Muhasabah dan Istighasah Akhir Tahun 2021 yang diadakan Majelis Ulama Indonesia di Masjid Istiqlal, Kamis (30/12).
Jika dalam tahap evaluasi diri tersebut, seseorang mampu melewati level fasik dan awam, maka dia dapat dikategorikan sebagai orang taat. Taat, menurut mantan dirjen Bimas Islam Kementerian Agama ini, adalah orang yang sudah mulai aktif menyempurnakan ibadahnya dan telah disiplin dalam mengatur waktunya untuk beribadah.
“Orang awam masih suka malas dalam menjalankan kewajiban, tapi orang taat sudah lebih bersahabat dengan ibadah sehingga tidak ada keterpaksaan di dalamnya. Orang awam belum serius berupaya meningkatkan ilmu keagamaannya, sedangkan orang taat sudah aktif mengikuti beragam majelis ilmu untuk menambah wawasan keagamaan,” ujarnya menjelaskan.
Jika seseorang telah melampaui level taat, maka dia patut disebut sebagai ahli ibadah. Seseorang yang telah berada pada level ini, maka ia dapat menemukan kesenangan dan kedamaian saat beribadah, dan menjadikannya sebagai hobi.
“Saat orang taat masih dimotivasi oleh indahnya surga dan panasnya neraka untuk beribadah, ibadahnya ahli ibadah sudah dimotivasi oleh kecintaannya pada Allah SWT, bukan karena surga maupun neraka,” kata KH Nasaruddin.
Bagi mereka yang telah mencapai level keimanan tertinggi, ahlullah, atau keluarga Allah, sudah tidak membedakan mana ibadah wajib dan sunnah, karena saking cintanya ia pada beribadah. Ahlullah, kata KH Nasaruddin, juga tidak lagi hitung-hitungan tentang ibadah atau amal yang dia lakukan.
“Saat ahli ibadah masih suka menyebut kebaikan yang sudah dia lakukan, Ahlullah menempatkan dirinya sederajat dengan orang-orang yang dia tolong (anak yatim, fakir miskin, dhuafa), jika dia membantu orang lain maka dia seperti membantu dirinya sendiri, sehingga tidak ada lagi kalkulasi atau hitung-hitungan,” ujarnya.
“Jadi perlu disadari bahwa anak tangga yang ingin kita capai masih sangat banyak, di atas langit masih ada langit, maka jangan cepat puas dengan pencapaian kita di tahun 2021, masih banyak yang perlu kita capai, baik secara duniawi maupun ukhrawi di tahun-tahun mendatang,” tuturnya mengingatkan.
“Semoga Allah SWT memberikan energi untuk kita semua agar kita bisa meraih kesuksesan baik sebagai diri pribadi, keluarga, masyrakat, maupun warga bangsa Republik Indonesia,” pungkasnya.