Salah satu dari mereka, Manana Bahr yang berharap mendapatkan status hukum, mengatakan itu adalah "hari yang kelam" ketika dia menemukan dia di antara banyak orang yang namanya tidak ada dalam daftar yang dikeluarkan oleh Kementerian Urusan Sipil.
“Kegembiraan kami hancur, orang-orang pingsan dan pergi ke rumah sakit. Mereka yang membawa permen untuk dibagikan melemparkannya ke tanah setelah mereka mengetahui nama mereka tidak ada dalam daftar,” kata Bahr dilansir dari Aljazirah, Selasa (26/10).
Bahr adalah salah satu aktivis di antara gerakan penyatuan keluarga. Dia adalah seorang wanita Maroko yang menikah dengan seorang pria Palestina. Ia datang ke Palestina dengan visa sementara 15 tahun yang lalu. Selama 15 tahun terakhir, Bahr tidak dapat meninggalkan kota Ramallah tempat dia tinggal bersama keluarganya karena tidak memiliki status hukum.
“Saya tidak memiliki KTP sejak 2007 – saya tidak bisa bekerja, bepergian, atau membuka rekening bank,” kata Bahr.
Untuk generasi mendatang
Sementara Najah Abdelrazek, seorang Palestina yang sebelumnya tinggal di Yordania yang kemudian menikah dan tinggal bersama sepupunya di Tepi Barat yang diduduki, mengatakan dia tidak meninggalkan negara itu sejak dia mendapat izin berkunjung lebih dari 12 tahun yang lalu.
Dia mengatakan telah mengalami banyak tragedi selama periode ini, termasuk kematian orang tuanya dan salah satu saudara laki-lakinya di Yordania, tanpa bisa menghadiri pemakaman mereka.