REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bersumpah pada hari Selasa lalu, bahwa pasukan militernya akan melancarkan serangan darat di kota Rafah di ujung selatan Gaza dengan atau tanpa kesepakatan gencatan senjata yang sedang dinegosiasikan dengan Hamas.
Perdana Menteri yang memiliki sifat yang keras iru mengeluarkan peringatan tersebut meskipun ada kekhawatiran yang dirasakan oleh sekutu utamanya, Washington dan beberapa jam sebelum Menteri Luar Negeri (Menlu) AS, Antony Blinken tiba di Israel dalam kunjungannya di Timur Tengah.
“Gagasan bahwa kita akan menghentikan perang sebelum mencapai semua tujuannya adalah hal mustahil, kami akan memasuki Rafah dan kami akan menghilangkan batalion Hamas di sana dengan atau tanpa kesepakatan, untuk mencapai kemenangan total,” kata Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, dilansir dari GulfNews, Kamis (02/05/2024).
Komentar Netanyahu tersebut muncul ketika Hamas sedang mempertimbangkan rencana gencatan senjata terbaru yang diusulkan dalam perundingan di Kairo dengan mediator AS, Mesir, dan Qatar yang telah memiliki harapan yang besar untuk mengakhiri pertempuran.
Kelompok militan Palestina, Hamas mengatakan bahwa mereka sedang mempertimbangkan rencana gencatan senjata selama 40 hari dan pertukaran sejumlah sandera dengan jumlah tahanan Palestina yang lebih besar. Penawaran tersebut dibuat dengan memberikan keuntungan bagi pihak Hamas demi upaya untuk mencapai kesepakatan.
Amerika Serikat telah meningkatkan tekanan kepada semua pihak untuk mencapai gencatan senjata. Blinken tiba di Yordania dari Arab Saudi dan kemudian menuju ke Israel untuk melakukan pembicaraan dengan Netanyahu dan pejabat lainnya untuk memberikan tawaran yang "sangat murah hati" dari Israel.
Amerika Serikat sangat mendukung sekutunya, tapi juga menekannya untuk menahan diri untuk melancarkan invasi darat ke Rafah yang dipenuhi warga sipil yang terlantar dan berbuat lebih banyak untuk melindungi 2,4 juta penduduk di wilayah tersebut.
Presiden Joe Biden yang juga sedang menghadapi protes yang meningkat di kampus-kampus AS, mendesak para pemimpin Mesir dan Qatar untuk mengerahkan semua upaya untuk menjamin pembebasan sandera yang ditahan oleh Hamas.