Kamis 01 Jul 2021 06:57 WIB

Pelatihan Imam Jerman Tetap Jalan Meski Turki Kritik Keras  

Jerman telah menjalakan program pelatihan imam secara berkala

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
Jerman telah menjalakan program pelatihan imam secara berkala. Ilustrasi umat Islam jerman
Foto:

Sampai saat ini, sebagian besar imam di Jerman telah dilatih di luar negeri, terutama di Turki, dan juga dibayar oleh negara asal mereka. Sekitar setengah dari 2.000 hingga 2.500 imam di negara itu disediakan oleh Persatuan Islam-Turki untuk Urusan Agama (DITIB) yang telah mengelola 986 masjid di Jerman. Sedangkan sisanya didatangkan dari Afrika Utara, Albania dan bekas Yugoslavia. 

Para pemimpin agama ini cenderung datang ke Jerman selama empat atau lima tahun, beberapa dengan visa turis, dan hanya tahu sedikit tentang budaya dan adat setempat. “Para imam ini tidak berbicara bahasa anak muda, bahkan seringkali tidak mengerti bahasa Turki dengan baik,” kata etin, anak dari imigran Turki yang lahir di Berlin. 

“Penting untuk menyadarkan bahwa mereka berhubungan dengan realitas masyarakat multikultural di mana orang Kristen, Yahudi, ateis, dan Muslim hidup berdampingan.” 

Dia berpendapat bahwa banyak dari para pemimpin juga pejabat Turki yang mengejar agenda politik di Jerman. Pengaruh Ankara telah lama menjadi pertanyaan pelik di komunitas Muslim Jerman, terutama sejak kudeta yang gagal terhadap Presiden Recep Tayyip Erdoğan pada 2016, ungkapnya. 

Namun di sisi lain, pelatihan imam dengan dukungan dari negara Jerman juga kontroversial karena bertentangan dengan prinsip bahwa komunitas agama saja yang berhak melatih para pemimpin mereka. Untuk alasan ini, DITIB dan Milli Görüş, organisasi Islam terbesar kedua di Jerman, memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pendirian Sekolah Tinggi Islam Jerman, dengan DITIB meluncurkan program pelatihannya sendiri di Jerman tahun lalu. 

Milli Görüş percaya bahwa pelatihan para imam harus bebas dari pengaruh eksternal, terutama pengaruh politik, ujar sekretaris jenderal Bekir Alta. Namun ketua perguruan tinggi Begiç mengatakan bahwa lembaga tersebut dibuat tanpa ada sama sekali pengaruh dari negara, agar tidak mengganggu pengembangan program. “Imam tetap dibayar rendah dan bergantung pada sumbangan dari umat. Karena kami bukan agen tenaga kerja,” sambungnya. 

 

 

Sumber: middleeastmonitor   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement