REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Jimly Asshiddiqie, menyebut kehidupan zaman Nabi Muhammad SAW hingga Ali bin Abi Thalib telah mengajarkan perihal demokrasi. Demokrasi sendiri adalah penamaan sistem yang diidealkan terjadi dalam bernegara.
Dalam webinar yang digelar ICMI, ia menyebut di suasana Ramadhan ini ada baiknya umat Muslim kembali mengkaji tentang demokrasi. Yang dibahas bukan kasusnya, namun apa esensi demokrasi dalam perspektif Islam.
Jika melihat buku sejarah, ia menyebut banyak yang tidak menuliskan referensi seputar demokrasi pada tahun 500 hingga 1500 Masehi. Para penulis seolah-olah tidak memuat perbincangan tentang demokrasi pada masa tersebut. Semua buku mengacu pada teori dan filsafat kuno, seperti masa-masa sebelum Masehi, serta Yunani dan Romawi kuno.
Sementara, pada abad ke-5 hingga 6 saat Nabi Muhammad hidup, praktik-praktik demokrasi telah dilakukan. Salah satunya dalam pemilihan pemimpin, hal ini tidak dilakukan secara turun-temurun maupun kudeta yang kerap terjadi di masa itu, namun melalui pemufakatan.
"Dalam Alquran dan hadis, banyak uraian yang menyebut bagaimana Nabi membuat keputusan dimulai dengan permusyawaratan, kecuali dalam urusan wahyu. Ini mekanisme yang tidak banyak tertulis dalam preseden sejarah," ujar Jimly Asshiddiqie, dikutip di webinar yang disiarkan di akun resmi Youtube ICMI, Kamis (15/4).
Plato, dalam bukunya yang berjudul 'Republic' tahun 375 SM, membahas tentang konsep republik dan demokrasi ini. Isi buku ini berupa dialog antara dirinya dengan delapan tokoh, termasuk Sokrates.
Di buku itu, gambaran sebuah negara yang ideal dan menjadi impian adalah berupa aristokrasi dengan pemimpinnya yaitu Philosopher King atau raja yang berfilosofi. Tak hanya itu, ia juga menyebut konsep ini bisa menyimpang menjadi empat tatanan dari yang baik hingga terburuk, yaitu timokrasi, oligarki, demokrasi dan tirani.
Demokrasi kala itu berada di posisi kedua bentuk kenegaraan yang terburuk. Namun, setelah 1500 Masehi, konsep ini berubah akibat perubahan pengertian dan makna yang dibuat oleh pada ahli dan filsuf Eropa.
"Meski demikian, di Eropa, referensi kepada praktik demokrasi ketika zaman keemasan Islam ini tidak ada atau tidak dimasukkan. Padahal itu bentuk demokrasi di masa abad pertengahan," lanjutnya.