REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Kelompok Muslim Malaysia mengutuk pengesahan Rancangan Undang-Undang kontroversial di Prancis yang melakukan diskriminasi kepada umat Islam.
Presiden Musyawarah Ormas Islam Malaysia (MAPIM) Mohd Azmi Abdul Hamid menyampaikan pernyataan menolak kampanye yang menyebarkan sentimen Islamofobia terhadap Muslim di Prancis.
“Membiarkan kelompok sayap kanan ekstrem dalam masyarakat Prancis dan para pembuat undang-undang untuk membenci Muslim, menciptakan ketegangan komunal dan memicu konflik kekerasan di antara warga Prancis,” ujar Azmi dalam pernyataannya kepada Anadolu Agency.
Azmi mengatakan pengesahan RUU yang mencakup amandemen baru dengan kedok memerangi ekstremisme, tidak dapat diterima. Sebab, kata dia, hal itu tidak hanya bertentangan dengan prinsip Universal Declaration of Human Rights yang diadopsi PBB, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip Republik Prancis itu sendiri.
“Kami menuntut agar ketentuan pelarangan tanda atau pakaian agama yang secara khusus menargetkan Muslim dicabut,” kata Azmi.
Azmi juga menyerukan kepada pemerintah Prancis untuk menghentikan langkah-langkah membuat undang-undang yang bertentangan dengan kebebasan beragama. Senat Prancis pada Senin mengadopsi RUU kontroversial yang menargetkan Muslim dengan sejumlah amandemen.
Amandemen baru, yang bertujuan memerangi "ekstremisme," memuat aturan melarang orang tua mengenakan simbol agama saat menemani anak-anaknya ke sekolah. RUU ini juga melarang burkini - pakaian renang yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah, tangan dan kaki yang kerap dipakai wanita Muslim di kolam renang terbuka.
Aturan ini juga mencegah anak-anak perempuan Muslim menutup wajah mereka atau memakai simbol-simbol agama di ruang publik.