Diaspora Rohingya, seperti Noor yang orang tuanya melarikan diri dari Myanmar pada 1960-an ke Timur Tengah, telah mencoba menghidupkan kembali budaya dan warisan komunitas.
Meski bahasa Rohingya diucapkan dan dipahami oleh 1,8 juta orang, format tertulisnya baik alfabet dan kosakata, telah mengalami beberapa perubahan selama berabad-abad.
Pada 1980-an, Seorang cendekiwan Rohingya yang tinggal di Bangladesh, Maulana Muhammad Hanif, akhirnya mengembangkan sistem bahasa yang sekarang dikenal sebagai Rohingya Hanifi. Sistem ini digunakan untuk membakukan bahasa dan memudahkan orang mempelajarinya.
Noor menyebut masyarakat Rohingya yang dididik di Pakistan atau India, cenderung membaca terjemahan Alquran dalam bahasa Urdu. Sementara, mereka yang lahir dan besar di negara-negara Arab mengandalkan huruf Arab.
"Tapi kebanyakan Rohingya tidak bisa membaca semua itu. Kami ingin menerjemahkan audio dan video Rohingya agar bisa menjangkau masyarakat akar rumput," ujarnya.