Ini mengungkapkan sifat lengkap dari identitas Bangladesh, dualitasnya, skizofrenia-nya. Masalah ini berakar pada sejarah dan pada abad ke-19 yang panjang (1793-1905) ketika banyak dari ketegangan dan kontradiksi ini berkembang.
Islam di Bangladesh datang dari luar, tetapi Muslim di wilayah tersebut sebagian besar adalah penduduk setempat (meskipun beberapa non-Bengali juga datang, memerintah, berdakwah, dakwah dan menetap). Yang mengejutkan adalah tidak ada konflik yang jelas antara Islam dan keragaman keyakinan dan ketaatan agama lokal yang sudah ada di sini di bawah payung Hinduisme.
Fakta bahwa Hinduisme tidak menegaskan satu Tuhan, satu Gereja, satu doktrin, satu teks, atau satu praktik yang menentukan iman, mungkin telah menyebabkan toleransi relatif terhadap beragam tradisi dan praktik. Meskipun secara internal, stratifikasi kasta bisa sangat keras meruncing.
Demikian pula, para penguasa Muslim di India, sebagian dari mereka lebih tertarik meningkatkan pendapatan dan mengelola kerajaan daripada memikirkan nasib rakyatnya, terutama yang ada di provinsi yang jauh seperti Benggala. Sebagian besar masyarakat di wilayah Benggala adalah petani miskin, dan rentan diperas oleh pemungut pajak.
Mereka juga diikat oleh sistem ekonomi yang tidak menguntungkan kaum tani. Kerjasama dan kebersamaan ditentukan oleh keadaan hidup mereka, kepentingan kelangsungan hidup dan kesejahteraan kolektif. Akhirnya, seperti yang dicatat oleh Akbar Ali Khan, keadaan desa di Bengal ditentukan oleh alam sekitar dan geografis. Sehingga, tak sedikit dari mereka yang berpindah tempat tinggal dan mengubah praktik pertaniannya.