REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di sekolah negeri masih menuai polemik secara luas. Penolakan telah berdatangan dari tokoh-tokoh, pemerintah daerah (pemda), seperti di Sumatra Barat, hingga organisasi masyarakat (ormas) Islam, di mana mereka menyerukan agar sejumlah poin aturan perlu direvisi terlebih dahulu.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, M Cholil Nafis menjadi salah satu yang menyuarakan kritik terhadap keputusan tersebut. Melalui sejumlah cuitan di jejaring sosial Twitter, ia menyampaikan pandangan dan alasan terkait kebijakan tentang seragam dan atribut sekolah, yang menurutnya harus ditinjau kembali.
Cholil dalam tanggapan pertamanya saat dikeluarkannya SKB 3 Menteri tersebut mengatakan, bahwa jika pendidikan tidak boleh melarang, maupun mewajibkan pakaian dan atribut keagamaan, maka ini tak lagi mencerminkan pendidikan. Ia menilai bahwa di usia sekolah, murid perlu dipaksa untuk melakukan hal baik dari perintah agama untuk pembiasaan.
Menurut Cholil, Islam tidak boleh mewajibkan syariah atribut keagamaan atau tutup aurat kepada non-Muslimah. Namun, jika seorang guru mewajibkan siswi Muslim untuk berjilbab dalam rangka pendidikan, maka ini adalah hal yang baik.
“Pendidikan tidak hanya pemahaman tapi juga pembiasaan. Namanya saja sekolah itu masih seragam dan dibiasakan berpakaian sesuai perintah agama,” tulis Cholil, seperti dikutip dari salah satu cicitan di akun Twitter miliknya, @cholilnafis.
Cholil menuturkan, bahwa pendidikan tak hanya bertujuan untuk membuat seorang anak menjadi pintar, namun juga memiliki sıfat dan sikap yang baik. Karena itulah, terdapat pendidikan ilmu dan agama.
Sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa menurut Cholil perlu diimplementasikan dalam seragam sekolah. Tetapi, ia menggarisbawahi asalkan hal ini tidak dilakukan dengan memerintah atau melarang atribut agama tertentu kepada siswa dan siswi dengan keyakinan atau agama berbeda.
Lebih lanjut, Cholil mengatakan anak-anak di usia sekolah pada dasarnya masih membutuhkan ‘paksaan’ dalam belajar, seperti untuk masuk ke kelas, mengerjakan pekerjaan rumah (PR), dan lainnya. Pendidikan menurutnya memiliki reward dan punishment, karena itu perlu ada penegakan disiplin dan pentingnya untuk pembentukan karakter.
“Pembentukan disiplin itu karena ketegasan (pemaksaan) memenuhi kewajiban. Pendidikan di antaranya memaksa kebaikan dan pengetahuan kepada peserta didik, termasuk paksaan berseragam, bersepatu, dan membayar SPP,” jelas Cholil.
Cholil kembali menegaskan, bahwa memaksa taat aturan dalam proses belalar mengajar adalah bagian dari pendidikan. Meski demikian, pemaksaan ini tentunya tidak dilakukan dengan kekerasan.
Cholil menyebut bahwa hukum pendidikan di Indonesia telah mengatur dan menempatkan agama, spiritualitas, serta akhlak dengan baik sehingga bisa jadi payung dlm kebijakan. Karena itu, ia menyarankan agar sekolah jangan dilarang mewajibkan jilbab bagi siswi Muslim, serta serahkan aturan pada masing-masing sekolah dan pemerintah daerah selaku pengemban otonomi pendidikan.
“Di luar sana memang pendidikan dan semua urusan negara tak ada hubungannya dengan agama, tapi di Indonesia semuanya berlandaskan agama, sebagaimana termaktub dalam sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa,” jelas Cholil.
Cholil mengusulkan agar adanya satu pasal yang ditambahkan untuk menyempurnakan SKB 3 Menteri tentang seragam dan atribut sekolah. Ia mengatakan pasal ini yaitu guru dan sekolah dapat mewajibkan kepada siswa dan siswi memakai atribut keagamaan sesuai agama masing-masing dengan persetujuan orang tua dan komite sekolah, serta tidak boleh mewajibkan kepada yang berbeda keyakinan.
Kebijakan terkait seragam dan atribut tersebut diterbitkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, dan Menteri Agama (Menag) Yaqut Choulil Qoumas. Dalam sebuah pernyataan dari Yaqut, disebutkan bahwa lahirnya keputusan bersama ini merupakan upaya untuk mencari titik persamaan dari berbagai perbedaan di masyarakat Nusantara.
Menurut Yaqut, SKB 3 Menteri tentang seragam dan atribut di sekolah negeri bukan memaksakan agar sama, namun masing-masing umat beragama memahami ajaran agama secara substantif, tak hanya simbolik. Terdapat enam poin dalam kebijakan ini, yaitu:
- Keputusan bersama ini mengatur sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah (pemda).
- Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara : Seragam dan atribut tanpa kekhususan agama atau seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
- Pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
- Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak keputusan bersama ini ditetapkan.
- Jika terjadi pelanggaran terhadap keputusan bersama ini, maka sanksi akan diberikan kepada pihak yang melanggar.
- Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentuan keputusan bersama ini, sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait pemerintahan Aceh.
"Menag memang ikut menandatangani SKB tersebut. Namun, kewenangannya juga terbatas," kata Yaqut dalam keterangan tertulis, Kamis (25/2).
Yaqut menuturkan, kewenangan Kemenag diatur dalam ketentuan kelima huruf e yang mengatur tentang sanksi. Ada dua ketentuan, yaitu (pertama) melakukan pendampingan dan penguatan pemahaman keagamaan dan praktik beragama yang moderat ke pemerintah daerah dan atau sekolah yang bersangkutan; dan (kedua) dapat memberikan pertimbangan untuk pemberian dan penghentian sanksi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d.
"Jadi kewenangannya sebatas itu," tegas Yaqut.