REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di sekolah negeri secara luas telah memunculkan pandangan dari berbagai pihak. Tak sedikit yang menilai, kebijakan ini masih membutuhkan revisi dan pertimbangan lebih lanjut, mengingat isi dari aturan-aturan di dalamnya menimbulkan kontroversi, ketidakpastian hukum, bahkan dapat dinilai sebagai kesewenangan-wenangan pemerintah pusat.
Ketua Umum Persatuan Islam (Persis) Jeje Zaenudin menjadi salah satu yang menyampaikan pandangan terhadap polemik SKB 3 Menteri tentang seragam dan atribut sekolah. Ia mengatakan, secara umum dapat dipahami bahwa surat keputusan ini bersifat normatif dan wajar adanya.
“Tetapi menjadi bermasalah ketika SKB itu dikeluarkan dalam situasi yang kurang tepat dan dengan cara yang dinilai kurang bijaksana bahkan memberi ruang interpretasi publik yang lebih bernuansa politis,” ujar Jeje kepada Republika.
Jeje mengungkapkan, sebagian besar sekolah di Indonesia saat ini tengah melakukan pembelajaran jarak jauh atau secara daring, sebagai upaya mengendalikan situasi pandemi Covid-19. Namun, SKB 3 Menteri tentang seragam dan atribut sekolah dikeluarkan begitu cepat, selayaknya terjadi situasi darurat yang mendesak.
Lebih lanjut, Jeje menilai, klarifikasi dan dialog yang dibangun pemerintah pusat dengan pihak terkait, termasuk sekolah dan pemerintah daerah belum tuntas. Inilah yang menurutnya membuat SKB 3 Menteri lebih banyak dipahami publik sebagai tekanan politik, meski ancaman sanksi dari aturan dalam keputusan tersebut bersifat umum.
“Publik membaca sikap tegas pemerintah hanya dipicu kasus SMKN 2 Padang itu, kenapa tidak merespons dengan cara yang sama ketika merebak kasus pelarangan Jilbab bagi Muslimah di sekolah negeri pada daerah minoritas Muslim?” jelas Jeje.
Selain itu, Jeje mengatakan, SKB 3 Menteri tentang seragam dan atribut sekolah ini justru tidak melokalisir masalah yang bersifat kasuistis. Namun, kebijakan ini cenderung seperti menjustifikasi tuduhan pihak-pihak tertentu, bahwa telah terjadi diskriminasi dan intoleransi pihak Muslim kepada umat non-Muslim.
Secara substansial, Jeje mengatakan, ada masalah dalam SKB 3 Menteri tersebut, karena tak hanya larangan memaksa pakaian dan atribut keagamaan pada murid, namun juga termasuk memberi himbauan maupun anjuran. Padahal, masyarakat secara luas selama ini tentu memahami bahwa itu adalah bagian yang hajar dari proses pendidikan.
“Imbauan dan anjuran bahkan paksaan melaksanakan bagian ajaran agama bagi pemeluknya adalah suatu hal yang seharusnya, apalagi bagi daerah tertentu yang telah memiliki budaya agama yang begitu melekat dalam pakaian mereka,” kata Jeje menambahkan.
Lebih lanjut, Jeje mengatakan, Persis selaku organisasi masyarakat (ormas) Islam menyarankan agar lebih bijak SKB 3 Menteri tentang seragam dan atribut sekolah ditarik kembali dan direvisi terlebih dahulu setelah mendengar masukan banyak pihak. Ia menyebut diantara masukan itu sebaiknya berasal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan tokoh-tokoh Sumatra Barat.
“Sebagai perwujudan bahwa masalah pendidikan adalah tanggung jawab seluruh elemen masyarakat wajar jika segala kebijakanya pun harus mendengar aspirasi dan partisipasi masyarakat luas,” jelas Jeje.
SKB 3 Menteri terkait seragam dan atribut sekolah diterbitkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, dan Menteri Agama (Menag) Yaqut Choulil Qoumas. Dalam sebuah pernyataan dari Yaqut, dikatakan bahwa lahirnya keputusan bersama ini merupakan upaya untuk mencari titik persamaan dari berbagai perbedaan di masyarakat Nusantara.
Menurut Yaqut, SKB 3 Menteri tentang seragam dan atribut di sekolah negeri bukan memaksakan agar sama, namun masing-masing umat beragama memahami ajaran agama secara substantif, tak hanya simbolik. Terdapat enam poin dalam kebijakan ini, yaitu:
- Keputusan bersama ini mengatur sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah (pemda).
- Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara: Seragam dan atribut tanpa kekhususan agama atau seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
- Pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
- Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak keputusan bersama ini ditetapkan.
- Jika terjadi pelanggaran terhadap keputusan bersama ini, maka sanksi akan diberikan kepada pihak yang melanggar.
- Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentuan keputusan bersama ini, sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait pemerintahan Aceh.
Sebelumnya, Yaqut menyebut latar belakang dikeluarkannya SKB 3 Menteri ini adalah karena masih adanya kasus-kasus pelarangan dan pemaksaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang dilakukan pemerintah daerah tidak sesuai dengan regulasi pemerintah. Salah satu kasus yang disebut sebagai puncak dari terbitnya kebijakan ini adalah adanya siswi non-SMKN 2 Padang yang diwajibkan untuk mengenakan jilbab pada Januari lalu.
Yaqut menuturkan, kewenangan Kemenag diatur dalam ketentuan kelima huruf e yang mengatur tentang sanksi. Ada dua ketentuan, yaitu (pertama) melakukan pendampingan dan penguatan pemahaman keagamaan dan praktik beragama yang moderat ke pemerintah daerah dan atau sekolah yang bersangkutan; dan (kedua) dapat memberikan pertimbangan untuk pemberian dan penghentian sanksi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d.
"Jadi kewenangannya sebatas itu," tegas Yaqut.