Ahad 14 Feb 2021 04:57 WIB

Radikal DIn Syamsuddin Hingga Akar Islamophobia di Jawa

Akar Islamophobia di Jawa

Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920
Foto:

Bersamaan dengan itu, penasihat kolonial Snouck Hurgronje juga terus memberi pesan kepada pemerintah kolonial bahwa Islam politik tak bisa diberi tempat. Islam yang diberi tempat adalah Islam yang hanya bersifat ritual.

Target ini kemudian bersesuaian dengan cita-cita Belanda yang dalam jangka panjang akan menjadikan Indonesia sebagai negara Uni-Belanda, dan tak akan pernah memberikan kemerdekaan meski kala itu sudah banyak dituntut sejumlah aktivis pergerakan.

Snouck Hurgronje di Jeddah  tahun 1884.

Keterangan foto: Snouck Hurgronje di Jeddah tahun 1884.

Maka, lagi-lagi umat Islam semakin tersudut. Dalam disertasi tentang 'Politik Islam di Hinda Belanda' mendiang DR Aqib Suminto yang ditulis pada awal tahun 1980-an menyebutkan, kala era kolonial memang pemerintah Belanda sengaja meminggirkan Umat Islam dalam berbagai kebijakan yang nyata. Ini misalnya, pemerintah kolonial hanya memberikan sedikit saja bantuan kepada umat Islam yang merupakan mayoritas. Bahkan, bila dibandingkan bantuan kepada umat non Islam jumlahnya sangat besar, hingga tiga sampai empat kali lipatnya meski punya umat yang jauh lebih sedikit. Fakta seperti ini juga pernah dikatakan mendiang perdana menteri Moh Natsir pada sebuah bukunya.

Perlakuan semacam itu, kemudian terjadi dengan cara pembiaran terhadap segala macam sikap pejoratif terhadap ajaran Islam. Ini misalnya sikap pemerintah yang mendukung bahkan membiayai atau setidaknya membiarkan terbitnya serat Gatoloco dan Darmagandul. Juga kemudian secara diam-diam menyebutkan aneka tuduhan yang tidak mengenakan kepada kaum santri, para ulama dan haji. Misalnya, santri gudik, Islam datang dari negara Arab yang wilayahnya dikutuk tuhan dengan tidak pernah turun hujan, pergi haji ke Makkah untuk mencari pesugihan dan tuyul, dan lainnya.

Nah, sikap tidak ramah bahkan pejoratif kepada Islam itulah yang terjejak hingga kini. Keadaan ini memang susah dihapus karena sudah ada terjejak dibenak banyak orang dan telah ditanamkan dalam pikiran sejak era kolonial selama beratus tahun lamanya.

Jadi kalau ada sebutan radikal kepada Din Syamsuddin itu hal yang bisa dipahami. Sebab, kadang sejarah itu memang selau berulang. Jadi tak usah 'gumunan' (suka heran) dan 'kagetan; (suka kaget). Ingat seperti kata pepatah Melayu: tidak ada yang baru di bawah terpaan terik sinar matahari.

Yang penting 'aja adigang, adigung, adiguna! (Jangan mengandalkan kekuatan, kekuasaan, dan kepandaian yang dimiliki!).

Apalagi hukum besi sejarah sudah mengatakan bia kekuasaan itu seperti cakra manggilingan (senjata cakra yang semacam roda, yang berputar). Tak ada yang abadi. Datang dan pergi.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement