Ahad 14 Feb 2021 04:57 WIB

Radikal DIn Syamsuddin Hingga Akar Islamophobia di Jawa

Akar Islamophobia di Jawa

Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920
Foto:

Lalu bagaimana keseruan pertarungan Islam politik dengan kekuasaan menjelang abad 19-20 M? Jawabnya, seusai Perang Jawa yang berakhir pada 1830, perlawanan Islam terus terjadi. Namun intensitasnya jauh berkurang.

Bapak ilmu sejarah Indonesia, Sartono Kartodirdjo mengibaratkan peristiwa perlawan masih terus terjadi tapi ibaratnya tak lagi hujan besar, hanya seperti rintik hujan gerimis. Ini misalnya dengan melihat perlawanan Kiai Ahmad Rifa'i di kawasan Pantai Utara hingga perlawanan para haji, santri dan ulama dalam pemberontakan petani Banten 1888, atau rusuh Entong Betawi di Jatinegara Jakarta pada kurun April-Mei tahun 1916

Dan memang, kalangan Islam pun kala itu sudah menyadari betapa mereka tidak didukung oleh pemerintah kolonial. Bahkan, bila VOC dahulu tidak mendukung gerakan misi Kristen karena takut hanya menimbulkan masalah, sejak pertengahan 1800-an pemerintah kolonial secara resmi mendukung gerakan misi tersebut.

Akhirnya, pada tahun 1860-an, mulai muncul pembastisan secara massal orang Jawa melalui sosok yang bernama Kiai Sadrach yang tinggal di sebuah desa di sebelah selatan Purworejo, yakni di kampung Karangjoso.

Dan umat islam sendiri, meski terpinggirkan secara politik, mereka terus mengadakan perlawanan. Hasilnya mulai terlihat dengan didirikannya Sarekat Dagang Islam oleh H Samanhudi di Solo. Organisasi inilah yang beberapa  tahun kemudian berubah menjadi organisasi politik Islam terbesar di awal tahun 1911 di bawah kepemimpinan HOS Cokromanito yang berjuluk raja Jawa tanpa  mahkota: Sarekat Islam.

Cokro Aminoto dalam sebuah pertemuan Sarekat Islam

Keterangan foto: HOS Cokroaminoto duduk berpakaian putih dan berkumis melintang dengan para anggota Sarekat Islam pada sebuah acara.

Melihat potensi kebesaran Sarekat Dagang Islam dan Sarekat Islam tentu pemerintah kolonial tak suka. Mereka berusaha memotong aliran dana organisasi ini yang kebanyakan datang dari kaum pengusaha, yakni saudagar batik. Maka pada saat itu pula diciptakan semacam 'khaos ekonomi' kepada kaum saudagar batik. Ini dilakukan dengan cara membiarkan para pedagang dari kelompok yang menjadi pesaing Sarikat Islam menutup jalur distribusi impor cairan untuk membatik yang datang dari negeri Tiongkok.

Akibat embargo ini kekuatan ekonomi saudagar banyak berkurang. Dengan semakin minimnya dana dari saudagar maka otomatis kekuatan SI yang dahulu sudah punya anggota yang terorganisir hingga 3 juta orang perlahan mulai mengecil.

Apalagi kemudian Belanda berhasil menyusupkan Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet dengan salah satu tujuan untuk menggeroti Sarekat Islam dengan cara mendirian Indische Sociaal Democratische Vereeniging atau ISDV. Organisasi ini berdiri pada tahun 1914.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement