Ahad 31 Jan 2021 05:03 WIB

Perjalanan NU, 95 Tahun Harmoniskan Islam dan Nasionalisme

Harlah NU 31 Januari: 95 Tahun Harmoniskan Islam dan Nasionalime

Rep: muhyidin/ Red: Muhammad Subarkah
KH Hasyim Asy
Foto:

Sebagai penyeimbang, kemudian lahirlah Ikhwanul Muslimin di Mesir yang didirikan oleh Hassan al-Banna pada 1928. Menurut Kiai Said, Hassan al-Banna sendiri sebenarnya merupakan ulama moderat dan berhaluan Aswaja.

Namun, menurut dia, suatu ketika ada salah satu pemuda Ikhwanul Muslimin yang membunuh Perdana Menteri Mesir. Akhirnya, Hassan Al-Banna marah karena menurutnya bukan seperti itu cara berjuang demi kebangkitan Islam.

Setelah itu, Hassan Al-Banna pun dibunuh dan muncul ideolog Ikhwanul Muslimin yang bernama Sayyid Qutub. Menurut Kiai Said, Sayyid Qutub lebih ekstrem dan menulis kitab berjudul Maalim Fit Thoriq atau petunjuk jalan yang benar. Menurut Kiai Said, isi dari kitab tersebut menyatakan bahwa selain sistem Islam adalah jahiliyah, termasuk nasionalisme.

“Jadi, saat Mbah Hasyim Asyari di sini mengatakan nasionalisme bagian dari iman, di sana Sayyid Qutub mengatakan nasonalisme bagian dari jahiliyah. Maka, di situlah bentrok antara Ikhwan dan penguasa,” jelas alumni S3 University of Umm Al-qura ini

Di Indonesia sendiri, Kiai Said bersyukur sampai saat ini masih ada NU yang terus konsisten untuk menjaga keseimbangan, bahkan mulai sejak era orde lama, orde baru, sampai era reformasi. Menurut dia, dalam setiap kondisi NU bisa menjadi penyeimbang.

 “Alhamdulillah Indonesia masih ada NU yang selalu menjaga keseimbangan,” ujarnya.

Karena itu, menurut Kiai Said, tidak heran jika konflik atau kerusuhan yang terjadi di Indonesia tidak  pernah berlangsung lama seperti halnya di negara-negara Timur Tengah. Bahkan, menurut Kiai Said, kebanyakan tamu yang datang dari luar negeri sering merasa heran dengan NU di Indonesia.

“Mereka semua heran, NU ini mayoritas tapi tidak radikal. Bisanya di mana-mana yang mayoritas itu menindasnya minoritas. Kita justru sebaliknya mayoritas melindungi minoritas, yang penting mereka benar,” kata Kiai Said.

Menurut Kiai Said, selama tidak melanggar hukum atau undang-undang kaum minoritas perlu dilindungi dan tidak boleh dizolimi. Hal ini tidak terlepas dari konsistensi NU dalam menyebarkan Islam yang rahmatal lil alamin.

Dalam menyebarkan paham Aswaja di Indonesia, menurut Kiai Said, NU juga selalu mengharmoniskan antara agama dan budaya. Selama tidak bertentangan dengan syariat Islam, kata dia, tradisi atau budaya tersebut harus dihormati.

“Kuncinya adalah kita harmonis dengan budaya, itu kuncinya. Kecuali kalau tradisi yang bertentangan dengan Islam seperti seks bebas atau minum khamr kita tolak itu,” jelasnya.

Bukan hanya menghormati budaya, menurut Kiai Said, para ulama terdahulu khususnya para Wali Songo, juga menjadikan budaya sebagai insfrastruktur agama. Menurut Kiai Said, dalam berkdakwah para wali songo juga menggunakan pendekatan budaya.

“Jadi budaya itu dilestarikan dijadikan infrastruktur, di atasnya dibangun teologi. Jadi, agamanya kuat budayanya lestari. Coba kalau cara dakwahnya kita tabrakan dengan budaya kita, gak akan diterima,” katanya.

Oleh karena itu, Kiai Said pun mempersilakan jika generasi muda Indonesia ingin belajar ke negara-negara Arab ataupun ke negara Barat. Asalkan, kata Kiai Said, ketika pulang ke Indonesia jangan membawa budaya mereka, tapi membawa ilmu.

“Saya sendiri 13 tahun setengah dari S1 sampai S3 di Arab. Gus Dur, Kiai Mustofa Bisri, Pak Quraish Shihab semuanya juga keluaran Arab, tapi pulang bawa ilmu bukan bawa budaya,” jelas Kiai Said.

Kiai Said menjelaskan, dalam menyebarkan ajaran Aswaja di nusantara sendiri pasti selalu ada tantangannya. Namun, menurut Kiai Said, umat Islam khususnya warga NU tidak boleh merasa risih dengan adanya tantangan.

“Kalau kita benar pasti ada tantangan dan itu harus kita hadapi. Kalah menang urusan nanti, tapi kita harus hadapi, apalagi di era IT atau era medsos ini tantangan lebih berat sekali,” ucapnya.

Menyongsong Harlah NU 95 tahun ini, Kiai Said pun berharap generasi NU semakin lebih lagi untuk menjadi ummatan wasathan, umat yang moderat dan moderan, serta mampu berperan sampai hari akhir hayatnya.

“Semoga generasi NU yang akan datang lebih baik daripada generasi ktia sekarang, yaitu menjadi ummatan washatan,” kata Kiai Said.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement