Ahad 24 Jan 2021 05:03 WIB

Antara Kapolri dan Kitab Kuning

Menjadi orang baik dan bermanfaat, Antara Kapolri dan Kitab Kuning

Santri mengikuti kajian kitab kuning di Pondok Pesantren Nurul Ihsan di Kampung Cilewong, Lebak, Banten, Minggu (26/4/2020). Pada bulan suci Ramadhan mengaji kitab kuning merupakan tradisi pesantren tradisional (salafi) dan modern untuk memperdalam ilmu agama antara lain ilmu fikih, akidah, tasawuf, ibadah, muamalah, dan tafsir Al Quran.
Foto:

Tradisi Pesantren

Kitab kuning yang akan diwajibkan calon Kapolri untuk dikaji itu nanti, tiada lain, adalah kitab yang menjadi materi pokok pengajian di pesantren selama ini. Terutama pesantren NU, dimanapun akan kita jumpai itu. Kajiannya bisa bersifat "bandongan" --istilah di Jawa, sedang "ngabandongan" untuk di Sunda-- dimana seorang kiai membacakan kitab dan para santri menyimaknya dengan seksama.

Selain itu, model "sorogan" juga menjadi tradisi kajian di pesantren yang sangat penting. Ini lebih khusus, dimana seorang santri membaca kitab secara langsung dihadapan kiai. Jika bandongan dilakukan secara massal --terlebih ketika bulan ramadhan, dengan mengkaji kitab tertentu sampai khatam; maka pengajian sorogan lebih personal sifatnya. Disini terjadi interaksi langsung, face to face, antara kiai dengan santri.

Ada yang lebih khusus lagi, dan ini menjadi tradisi kajian di pesantren yang masih berlangsung sampai saat ini. Yakni, "syawir" atau bahtsul masail --dimana para santri bermusyawarah-- untuk mengkaji persoalan dengan rujukan kitab-kitab kuning, kemudian "mempertemukan" segala perbedaan dari berbagai hujjah atau argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini lebih pada proses ilmiah, bagaimana para santri harus menguasai persoalan.

Mereka mesti mempunyai kemampuan, tidak sekadar membaca teks tapi juga memahami konteks persoalan yang ada, dan bagaimana menyelesaikannya. Tak jarang, perdebatan pun terjadi disana, bahkan lebih seru dibanding perdebatan yang sering kita lihat di tayangan televisi, seperti ILC misalnya.

Model kajian seperti itu menjadi bagian penting dari tradisi pendidikan pesantren yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya, sejak tahun 1200-an. Meskipun kini telah berkembang pesat, dengan mengadopsi model pendidikan modern yang bersifat klasikal, namun tradisi kultural pesantren masih tetap terjaga. Ia mempunyai kekhasan sendiri sebagai habitus pendidikan nusantara.

Pesantren tak pernah "tergerus" oleh perubahan, namun justru tetap menunjukkan vitalitasnya sebagai basis kekuatan sosial, budaya, keagamaan, dan bahkan politik, yang secara aktif membentuk bangunan kebudayaan modern Indonesia. Disinilah kita memahami adagium yang sangat populer di kalangan santri: almuhafadhatu 'ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdhu bi al-jadidi al-ashlah, sebagai prinsip dasar konservasi dan revitalisasi itu sendiri.

Tentang tradisi pesantren, secara luas dan mendalam, digambarkan dengan lengkap oleh Dr. Zamahsyari Dhofier lewat karya monumentalnya, "Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kiai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia." Buku yang terbit untuk pertama kalinya pada 1980 di AS itu telah menjadi rujukan utama para peneliti pesantren selama ini.

Pesantren dengan segala tradisinya itulah yang telah membentuk "profile" intelektual khas santri. Bersikap terbuka, simpel, tapi lugas dan tegas. Lihat saja Gus Dur, Cak Nur, Buya Syafi'i Ma'arif, KH. Said Aqil Siradj, Dr. Quraish Shihab, untuk menyebut beberapa saja. Atau dari kalangan muda, seperti Gus Baha, Ulil Abshar-Abdalla, Yahya C Staquf, Abdul Mu'thi, Ngatawi al-Zastrouw, Zuhairi Misrawi, dll. Mereka semua mempunyai kekhasan, dapat memadukan keislaman dan keindonesiaan secara utuh dan tuntas, tanpa "menciderai" universalitas nilai-nilai Islam itu sendiri.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement