“Ini bukanlah hal baru,” katanya dilansir dari Aljazirah.
Menurutnya, sebagian besar etnis Singhalese adalah mereka yang lihai memanfaatkan teknologi khususnya media sosial dalam menyebarkan pesan-pesan mereka. Beberapa tokoh-tokoh terkemuka dari etnis Sinhalese adalah mereka yang memiliki puluhan ribu pengikut di akun-akun media sosial milik mereka.
Namun, setelah terjadinya kerusuhan kurang lebih 400 postingan dengan ujaran kebencian dan hasutan tersebut telah ditarik oleh Facebook. Facebook pun lantas meminta maaf atas kelalaiannya dalam melakukan sensor terhadap ujaran kebencian yang berlalu-lalang di dalamnya.
Ke depan, Facebook berjanji akan melakukan sensor yang lebih ketat untuk menghindari kejadian serupa. Pemanfaatan media sosial dalam penyebaran ujaran kebencian kemudian menjadi kekhawatiran di berbagai kalangan di Sri Lanka, yang ditakutkan akan menyulut konflik yang lebih berkepanjangan.
Pada 26 Februari 2018, massa mengamuk di Kota Ampara, pesisir timur Sri Lanka. Sebelumnya muncul sebuah video yang menampilkan seorang Muslim, pekerja di sebuah restoran di negara tersebut, yang mengaku dirinya telah menambahkan pil sterilisasi di makanan yang dimakan oleh perempuan dari etnis Sinhalese.