REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Semenjak berakhirnya perang saudara yang terjadi antara komunitas Buddha dan Muslim pada 2009, untuk pertama kali, pada Selasa, 6 Maret 2019 pemerintah Sri Lanka memberlakukan kembali state of emergency atau kondisi darurat di negara tersebut.
Hal itu disebabkan oleh kembali meningkatnya ketegangan antarkedua etnis yang terjadi di Distrik Kandy. Kerusuhan yang dipicu oleh kecurigaan akan keterlibatan kelompok Muslim di Kota Digana atas tewasnya seorang sopir truk bernama MG Kumarasinghe dari kelompok etnis Sinhalese itu terjadi pada Senin, 5 Maret 2019.
Etnis Sinhalese sendiri merupakan kelompok etnis mayoritas asli yang kurang lebih berjumlah 75 persen dari keseluruhan populasi di Sri Lanka. Sedangkan Muslim kurang lebih hanya sembilan persen.
Massa dari kelompok Sinhalese yang terbakar amarah kemudian melakukan penyerangan dengan melakukan pembakaran di masjid-masjid, kendaraan di jalan-jalan serta sejumlah tempat usaha milik Muslim. Penyerangan serupa sebelumnya telah terjadi pada Februari tahun lalu.
Sehari sebelum penyerangan tersebut, diketahui video yang diambil oleh seseorang dari kelompok Sinhalese telah tersebar dan menjadi viral di media sosial seperti Facebook, Youtube, dan Twitter. Dalam video tersebut terlihat seorang laki-laki yang melontarkan ujaran kebencian terhadap kelompok Muslim.