Senin 14 Dec 2020 05:01 WIB

Mengenang Perjuangan Politik Islam: Mereka Yang Dilumpuhkan

Inilah kisah perjuangan Islam melawan kolonial.

Pangeran Diponegoro mengenakan serban dan berkuda di antara para prajuritnya yang tengah berisitirahan di tepian Sungai Progo.
Foto:

Namun angin politik etis kemudian  berhembus. Dan pemerintah kolonial semakin memahami kondisi umat Islam di Nusantara. Untuk tetap menancapkan kukunya, haluan kebijakan berganti menjadi halus.

Dipakailah jasa orientalis semacam Christian Snouck Hugronje. Ia membawa pemerintah kolonial untuk menceraikan Islam dari politik, dan membiarkannya sibuk dengan urusan ibadah dan kemasyarakatan semata.[11] Putra-putra ningrat dibaratkan. Warisan adat diperkuat. Islam diceraikan dari jejaknya. Huruf (Arab) Jawi disingkirkan, huruf latin ditegakkan.

Hasilnya terasa, perlawanan tak lagi menghebat. beberapa pemberontakan memang muncul. Namun tak ada yang sedahsyat Perang Jawa, Paderi atau Aceh. Umat Islam mulai menggerakkan dirinya dengan pendidikan dan organisasi.

Sebut saja Syarekat Islam, Persis, Muhammadiyah, NU dan lainnya. Bukan berarti tak ada tekanan dari pemerintah kolonial. Berbagai aturan tetap mengancam, seperti ordonansi sekolah liar yang menggusur lembaga pendidikan dan pers delicht yang memberangus kebebasan bersuara.

Jepang kemudian datang. Belanda terjengkang. Awalnya Jepang bersikap represif kepada ulama. KH Hasyim Asyari yang sudah sepuh ditangkap. Namun protes datang bergelombang. Kyai-kyai dan santri ingin ditahan bersama Hadlratus Syaikh. Atas lobi-lobi, akhirnya, Hadlratus Syaikh dibebaskan.

Kala itu Jepang mulai merangkul ulama untuk menjaga wibawa. Kebijakan ini membuat para ulama terjepit. Antara tajamnya samurai dan uluran tangan kotor Jepang. Penindasan, romusha, hingga penculikan gadis-gadis untuk pemuas nafsu Jepang, membuat ulama jijik dan enggan.[12]

Namun keadaan memaksa mereka untuk mengambil jalan siasat, bekerja sama dengan Jepang. Menipu mereka dan menggalang kekuatan. Salah satu yang terpaksa ikut dalam siasat ini adalah KH Mas Mansyur. Pemimpin besar Muhammadiyah. Diangkat menjadi pemimpin PUTERA bersama Soekarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara. Ia hidup dalam tekanan berat. Bermanis-manis di depan Jepang, hati remuk tatkala melihat rakyat ditindas.

Namun akhirnya Jepang hengkang, Indonesia bersorak girang. Merayakan kemerdekaan. Tetapi untuk diri KH Mas Mansyur, inilah awal yang akan menutup lembaran hidupnya. KH Mas Mansyur perlahan pulih dari tekanan.

Tak lama berselang, Belanda berseragam NICA datang. Lepas dari dunia politik, ia kembali mengajar. Kadang berkhotbah dalam sholat Jumat. Mengecam sebagian orang yang berkhianat kepada republik. Ironisnya ia sendiri kemudian menjadi korban para pengkhianat ini.

Saat pasukan sekutu bersama NICA semakin leluasa memasuki Ampel. Puluhan pemuda dan orang tua ditahan. KH Mas Masnyur tak luput dari fitnah ini. Ia dituduh menjadi kolaborator Jepang, karena pernah bekerja sama dan menduduki pucuk pimpinan PUTERA.

Dalam keadaan puasa sunnah, dia ditahan dan diikat. Rumahnya di Kampung Baru Nur Anwar digeledah. Tulisan-tulisan penting beliau ikut diangkut. Beliau kemudian diancam dengan hukuman berat. Kecuali jika mau bersedia berpidato di radio AMACAB milik sekutu. Untuk menghasut rakyat menghentikan perlawanan.

Tawaran ini ditampiknya.

Ia kemudian dibebaskan dalam keadaan sakit. Namun ini hanya sementara. Tak lama ia ditangkap kembali. Karena terlalu lemah ia dilarikan ke rumah sakit swasta di Darmo. Tanpa ditemani siapa pun, termasuk anak, istri atau kerabatnya, di situ berbaring seorang diri dalam kesunyian. Hingga malaikat menceraikan ruh dari badannya.

Begitu sunyi dan terasing, bahkan hingga saat ia menghembuskan nafas terakhirnya pun, tak ada yang mengetahui dengan pasti waktu wafatnya.

Tanggal kematiannya tercatat dalam beragam versi. Corong radio AMACAB melalui Djojobojo memberitakan tanggal 1 April 1946. Ada pula yang mengatakan 24 atau 25 April. Jenazahnya dimakamkan di kuburan Gipo, dekat Masjid Ampel. [13]

Roda sejarah terus berputar. Zaman terus berganti, dari masa revolusi kemerdekaan hingga Demokrasi terpimpin. Mungkin Inilah masa yang memakan korban ulama serta tokoh Islam terbanyak. Khususnya tokoh-tokoh Masyumi yang dilumpuhkan dengan keji oleh rezim Soekarno, yang didukung oleh pihak komunis. Terjangan fitnah bertebaran dimana-mana. Memaksa siapa pun untuk ikut menari dalam tabuhan Sang Pemimpin Besar Revolusi.

Namun tidak bagi Masyumi. Mereka terus mengkritik kebijakan Soekarno. Menolak agama disandingkan dengan komunisme. Menampik laku sewenang-wenang penguasa.

Soekarno mulai kehabisan akal. Tangan besi diayunkan. Tokoh-tokoh Masyumi pun bertumbangan. Akhirnya 13 September 1960, Masyumi pun memilih menghabisi dirinya sendiri, ketimbang dihabisi. Namun tragedi baru saja dimulai. Satu persatu anggotanya diterjang fitnah. Ditangkap. Dilumpuhkan.[14]

27 Januari 1963, siang itu sungguh mengejutkan. Empat orang datang mengetuk pintu. Sang tuan rumah dengan ramah membuka pintu dan menyambut tamunya. Tak disangka, para tamu membawa surat sakti. Surat penangkapan atas sebuah tuduhan. Sang tuan rumah, Buya Hamka, tersentak. Ia kemudian dibawa pergi.

“Dalam keadaan tak tahu apa kesalahan saya dalam tengah hari letih berpuasa, saya dijemput dan dicabut dengan segenap kekerasan dari ketentraman saya dengan anak istri, disisihkan dari masyarakat dan dimasukkan ke dalam tahanan,” tutur Buya hamka.[15]

Tuduhan pada Buya Hamka begitu hebat. Ia dituduh hendak membunuh Menteri Agama H. Saifuddin Zuhri. Dituduh pula ia pernah menghasut mahasiswa untuk meneruskan pemberontakan Kartosuwiryo, Daud Beureu’eh, M. Natsir dan Syafruddin Prawiranegara. Mimpi buruk untuk Buya Hamka baru saja bergulir. Ia difitnah. Untuk melanggengkan penangkapan atas dirinya, segala macam usaha dipakai, memaksa ia mengaku.

“Dengan tekanan batin yang sangat menyesak, dipasang pertanyaan-pertanyaan jebakan. Kadang dengan ancaman, kadang dengan gertak, kadang-kadang tidak membiarkan istirahat agak sejenak, kita yang ditanya disuruh mengakui hal-hal yang telah disusun menjadi tuduhan.”[16]

Dan setelah “selesai” segala pemeriksaan, teruslah ditahan. Dua setengah bulan dihujani perlakuan semacam ini, membuat Buya Hamka ambruk juga. Ia akhirnya terpaksa menandatangani tuduhan kepada dirinya. Pengakuan yang dipaksakan itu dilakukan Buya Hamka, karena ia mengira kelak di pengadilan, akan bisa melawan. Membeberkan segala kebusukan. Nyatanya tak akan pernah ada pengadilan atasnya.

Situasi semakin suram dengan diterbitkannya sebuah keputusan dari Presiden Soekarno, Pen. Pres No. 11/1963. Tiga hari setelah setelah Buya Hamka ditahan. Sebuah keputusan Presiden yang menceraikan manusia dari fitrahnya. Pen Pres menjadi pisau tajam sebuah tuduhan subversif, yang berhak menahan siapa pun. Setengahnya disiksa dengan kejam, sampai jarak antara mereka dengan maut hanya beberapa langkah lagi, bahkan ada turut berjumpa dengan maut.

Salah satunya yang hampir berjabat dengan maut adalah KH Ghazali Sahlan. Seorang Masyumi jua.

KH Ghazali Sahlan ditangkap di rumahnya selepas sholat subuh, 7 Januari 1964. Salah satu tuduhannya adalah membentuk organisasi gelap. Awalnya pemeriksaan berlangsung sopan dan pantas. Tiga hari kemudian dunia seakan runtuh bagi KH Ghazali Sahlan. Ia mulai ditekan untuk mengakui segala tuduhan kepadanya. Kepolisian yang banyak dikuasai komunis menjadi-jadi. Suatu waktu, ditengah malam buta, Inspektur Polisi Solihun, memerintahkan Ghazali Sahlan untuk melepas pakaiannya. Ghazali hanya mengenakan pakaian dalam saja. Pukukl 1 malam ia mulai dipukuli, hingga berdarah-darah. Pukul 3 pagi ia ditanya,

“Jikalau saudara mati terbunuh dalam pemeriksaan ini, apakah pesan saudara?” Ia menjawab, “Saya hanya pesan agar jenazah saya dikirimkan ke Jakarta atas biaya keluarga saya.”

Pukul 4 pagi, Ghazali Sahlan makan sahur. Tak lama ia kembali ditelanjangi. Dipaksa melalkukan scotch Jump. Terus menerus scotch Jump hingga terjatuh-jatuh. Ditengah-tengah jatuh bangun, ia ditodong pistol. Kembali ditanya pesan terakhirnya. Ia menjawab hal yang sama, dengan tambahan, “Sesudah saya mengucapkan kalimat, La ilaaha’illalah, barulah tembak.”

Nyatanya tim pemeriksa menolak untuk menembak, lebih senang untuk menyiksanya. Izin Ghazali Sahlan untuk sholat pun ditampik. Pukul 9 pagi Ghazali rubuh. Ia terkapar. Namun pukul 11 ia kembali disiksa. Hanya kali ini lebih keji. Ia disetrum. Berkali-kali KH Ghazali Sahlan meneriakkan kalimat Tauhid. Berharap syahid menjemput. Ia kerap dipaksa untuk mengaku, namun paksaan itu ditolaknya. Berkali-kali ia disetrum hingga tangannya mengeluarkan darah. Namun itu tak menghentikan siksaan. Lipatan tangan, kaki, pinggang hingga kuduk, dilekatkan dengan aliran listrik. Siksaan berlanjut esok harinya. Semakin menggila. Dalam keadaan telanjang bulat alat vitalnya disetrum. Lalu mulutnya. Berulang-ulang, padahal ia sedang berpuasa. Hingga akhirnya ia tak sadarkan diri. 10 hari KH Ghazali Sahlan terkapar tanpa daya.Ternyata penyiksaan kepada KH Gahzali Sahlan dan Buya Hamka hanya jebakan untuk menangkap Kasman Singodimedjo, salah satu tokoh Masyumi yang paling lantang. Pengakuan mereka dibutuhkan untuk membuat Kasman dijebloskan ke dalam tahanan.[17]

Namun Kasman bukanlah orang yang awam dengan hukum. Kasman tak mudah untuk ditaklukkan. Setiap hari selama 24 jam Kasman terus diperiksa. Bergiliran oleh 6 tim. Dalam keadaan puasa Ramadhan ia kerap ditekan, dipojokkan dan diintimidasi, Empat hari di periksa, akhrinya Kasman menantang untuk dikonfrontir. Pertama yang dihadirkan adalah Letkol Nasuhi. Ketika dikonfrontir,. Letkol Nasuhi hanya berbicara pelan. Hingga Kasman marah, dan berteriak,

“Yang keras suaramu, supaya kedengeran!”  

“Saya terpaksa,” sahut Nasuhi.

Tim Pemeriksa kemudian gaduh. Kasman kembali menantang untuk dikonfrontir dengan siapa pun.

“Pertama, saya siap dikonfrontir dengan semua pengakuan siapa pun, Termasuk H. Ghazali Sahlan dan Hamka. Silakan!,” tegas Kasman.

“Kedua, maaf, saya dapat kesan bahwa oleh team pemeriksa, terutama dari team-team pemeriksa terdahulu telah dikerjakan penggiringan, paksaan-paksaan, siksaan-siksaan, dan lain sebagainya, sehingga para tertuduh yang bersangkutan itu terpaksa mengaku demi keselamatan jiwa mereka.”

Beberapa saat kemudian, Kasman berdiri. Dia buang kursinya jatuh ke belakang, dan dengan tangan ke atas dia berteriak sekeras-kerasnya dengan melotot,

“Percuma pemeriksaan semacam ini. Percuma! Sekarang begini saja. Silakan tuan-tuan cabut pistolnya dan tembaklah saya. Tembak! Tembaak! Tembaaak!”[18]

Ketua tim pemeriksa kemudian memutuskan untuk memberikan waktu istirahat bagi Kasman. Namun keadaan tak berubah. Beragam cara tak bisa membuat Kasman bersalah. Barulah 16 hari kemudian Kasman dibebaskan.

Setiap penindasan yang terjadi bukan hanya melumpuhkan seorang pejuang, tapi juga meruntuhkan tatanan keluarganya. Menceraikan dari anak dan istrinya. Mengasingkan dari masyarakatnya. Mereka tidak saja kehilangan kebebasan tapi juga kehilangan kesempatan untuk menafkahi keluarga. Istri mereka tiba-tiba dipaksa memutar otak menjadi tulang punggung keluarga. Menjual apa saja yang berharga. Seperti apa yang dialami keluarga Syafrudin Prawiranegara yang kehilangan rumah mereka. Penindasan ini bahkan juga memasung hak-hak mereka sebagai ayah. Mohammad Natsir tak secuil pun diberikan kesempatan untuk menikahkan putrinya. Ia hanya bisa berdoa di tahanan ketika putri pertamanya menikah. Sungguh keadaan yang menekan jiwa.

Yunan Nasution, mantan sekjen Masyumi yang turut ditahan, berkisah, dinding tahanan menjadi saksi coretan-coretan  mereka. Ayat-ayat Quran seperti, “Umat-umat yang dahulu telah silih berganti mengalami bangkit dan jatuh,” atau “Tuhan akan mempergilirkan hari-hari kehidupan manusia dengan kalah dan menang.” Kelak, janji Allah yang ditorehkan pada dinding-dinding tahanan itu terbukti. Tatkala mereka dibebaskan, pihak-pihak dari komunislah yang kemudian berganti mengisi tempat mereka. [19]

Peristiwa membungkam dan melumpuhkan sesungguhnya tidak berhenti sampai di sini saja. Masih banyak dan kerap terjadi peristiwa dan pejuang lain yang di bungkam dan dilumpuhkan, bahkan hingga beberapa langkah saja dari maut. Atau malah menjemput syahid. Bahkan hingga kini. Para penguasa lalim kerap mengikuti langkah yang sama, namun tak akan pernah bisa menumpas setiap gema kebenaran. Mereka hanya bisa melumpuhkan raga, namun tidak jiwanya. Menceraikan nyawa dari badannya, tapi tidak mematikan semangatnya.

Para pejuang itu adalah pejuang yang membumi, namun dengan hati mengingat ke langit. Menolak hidup berbalut kemewahan, dan memimpin dengan segala keberanian. Dan sesunggunya, api perjuangan itu tak akan pernah padam, dan selamanya berkobar-kobar. Sejarah mencatat, sebuah pembungkaman hanya akan memicu rentetan perlawanan yang lain. Satu penindasan akan memacu gema kebangkitan lain. Semua itu karena api itu di bakar oleh keinginan menegakkan kalimat Allah dalam bumi nusantara ini.

Catatan.

  1. Cerey, Peter. (2011). Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa,1785-1855. Jilid 2. Jakarta: KPG.
  2. Ibid.
  3. Hal ini diungkapkan Pangeran kepada Mangkubumi, bahwa dirinya telah menerima pertanda (wangsit) bahwa perjuangannya akan sia-sia. Tiada lagi yang tersisa bagi dirinya di dunia ini, kecuali mati sebagai sabilillah dalam pertempuran.
  4. Radjab, Muhamad. (1964). Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838). Jakarta : PN Balai Pustaka.
  5. Talsya, T. Alibasjah. (1982). Cut Nyak Meutia, Srikandi yang Gugur di Medan Perang Aceh. Jakarta: Mutiara.
  6.  Ibid.
  7. Ibid.
  8. Ibid.
  9. Alfian, Ibrahim. (1987). Perang di Jalan Allah : Perang Aceh 1873-1912. Jakarta: Sinar Harapan.
  10. Cerey, Peter. (2011). Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa,1785-1855. Jilid 2. Jakarta: KPG.
  11. Suminto, H. Aqib. (1996). Politik Islam Hindia Belanda. Het Kantoor voor Indlandsche Zaken. Jakarta: LP3ES
  12. Zuhri, Saifudin. (1974). Guruku Orang-orang Pesantren. Bandung: PT AlMa’arif.
  13. I.N, Soebagijo. (1982). K.H. Mas Mansur. Pembaharu Islam di Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
  14. Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman. (1982). Hidup Itu Berjuang. Kasman SIngodimedjo 75 Tahun. Jakarta : Bulan Bintang.
  15. Hamka. (2004). Tafsir Al Azhar Juz I. Jakarta: Pustaka Panjimas.
  16. Ibid.
  17. Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman. (1982). Hidup Itu Berjuang. Kasman SIngodimedjo 75 Tahun. Jakarta : Bulan Bintang.
  18. Ibid.
  19. Nasution, Yunan. Kenang-Kenangan Di Belakang Terali Besi di Zaman Orla. Jakarta : Bulan Bintang.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement