Senin 14 Dec 2020 05:01 WIB

Mengenang Perjuangan Politik Islam: Mereka Yang Dilumpuhkan

Inilah kisah perjuangan Islam melawan kolonial.

Pangeran Diponegoro mengenakan serban dan berkuda di antara para prajuritnya yang tengah berisitirahan di tepian Sungai Progo.
Foto:

Api Islam yang menyala-nyala dalam dada ulama dan umat memang menjadi biang kerok kemapanan Belanda di Nusantara.

Tahun 1873, api itu kembali berkobar hebat di ujung Sumatera. Perang yang akan berlangsung setidaknya hingga 40 tahun kemudian itu membuat keuangan pemerintah kolonial terkuras. Kematian Jenderal Kohler pada ekspedisi pertama mereka di Aceh, membuat mereka semakin mengganas.

Pemerintah kolonial tanpa ampun menghabisi rakyat Aceh yang melawan. Perang ini dikenal sebagai perang pembantai wanita dan anak-anak. Tapi hebatnya, wanita Aceh pula yang dikenal tidak punya rasa takut terhadap tentara penjajah. Menurut penulis Belanda, Zentgraaf,

“Vrouwen als deze waren er bij honderden, wellicht duizenden (wanita aceh yang seperti ini ada ratusan, mungkin ribuan).” Di lain kesempatan Zentgraaff mengatakan, “en dat de

vrouwen van dit volk alle andere overtreffen in moed en doodsverachting,” yang dalam terjemahan bebasnya berarti wanita bangsa ini melampaui orang lain dalam keberanian dan berani mati.[5]

Salah satu wanita yang kelak akan dikenang seperti itu, adalah istri seorang pria keturunan bangsawan, bernama Cut Muhammad. Sang suami yang sedang menunggu eksekusi hukuman mati oleh penjajah, berpesan pada istrinya, yang sedang menggendong anak mereka, Teuku Raja Sabi.

“Tidak perlu bersedih hati, Cut.” 

Allah Maha Adil dan Bijaksana. Apa yang akan saya alami adalah rangkaian dari perjuangan. Bukankah sama saja artinya bila saya jatuh terkapar di medan pertempuran atau mati ditembak?  Kedua-duanya adalah dengan peluru musuh.”

“…”lanjutkan perjuangan bersama-sama rekan seperjuangan kita.”

“…setelah aku menjalani hukuman nanti dan idahmu telah selesai, kawinlah dengan Pang Nanggroê.”[6]

Pesan seorang suami yang ditaati istrinya beberapa bulan kemudian. Menikahlah Pang Nanggroê, dengan wanita tadi. Wanita itu dikenal dengan nama Cut Meutia. Sedangkan Pang Naggroê adalah panglima dari suaminya yang terdahulu.

Enam tahun lamanya Cut meutia dan suaminya, Pang Naggroê, bergeriliya dalam rimba, terletak di daerah sungai Wojla dan sungai Meulaboh. Kecekatan pasukan dibawah pimpinan suami istri ini memaksa kolonial Belanda untuk menerjunkan pasukan Marechaussee (Mersose) yang dikenal kejam. Ironisnya gagasan terciptanya pasukan ini atas ide seorang bernama Mohammad Syarief. Seorang Commis di kantor Gubernur Aceh, di Kutaraja.[7]

Pada 24 September 1910, Cut Meutia kembali menjanda, setelah suaminya Pang Nanggroê syahid diterjang peluru. Cut Meutia kemudian mengambil alih komando dalam pasukannya. Sementara Kolone Macan dari pasukan mersose terus memburu Cut Meutia.

Sebulan kemudian, 25 Oktober 1910, Kolone Macan dipimpin Sersan WJ Mosselman menyerbu Gunong Lipeh. Cut Meutia dan pasukannya terkepung. Dua kali Sersan Mosselman, meminta Cut Meutia- yang terkepung sangkur dan senapan-untuk menyerah.

Namun terjangan kelewang menjadi jawaban dari Cut Meutia. Tiga senapan menyalak mengenai kepala dan badannya. Cut Meutia tersungkur. Syahid. Menyusul suaminya. Memenuhi citanya, yang biasa ia ia dendangkan untuk anaknya, Teuku Raja Sabi.

“Jak Ion timang preuen,

ureueng jameuen bhe lagoina,

Bek hai aneuek tagidong reunyeuen,

bila jameuen tuntut le gâta.”

(Mari kutimang, kasih

Dengan alunan nyanyian merdu

Janganlah sayang kembali pulang

Jangan kauinjak tangga rumahmu

Sebelum dendam sempat berbalas.)[8]

Bukan satu-dua kisah wanita Aceh yang menjanda, kemudian bergeriliya, bahkan hingga syahid menyusul suami mereka. Adalah Tjut Nyak Dhien yang turut meneruskan perjuangan suaminya, Teuku Umar.

Pihak Kolonial Belanda tak puas hanya dengan Teuku Umar. Tjut Nyak Dhien juga disasar. Pada 1904, di medan Aceh Barat yang berat, Kapten Campioni mengejar beliau. Kapten Campioni tewas diserbu 300 pejuang Aceh.

Baru setahun kemudian Tjut Nyak Dhien menutup lembaran geriliyanya. 4 November 1905, Letnan Van Vuuren, berhasil menyergapnya. Dalam kondisi delapan hari tidak makan nasi, hidup hanya memakan pisang bakar, ia terserang penyakit yang membutakan matanya.

Adalah Pang Laot Ali, pejuangnya sendiri yang memberitahukan persembunyiannya. Pang Laot tidak tega melihat kondisi pemimpinnya yang sudah begitu menderita. Ketika Tjut Nyak Dhien tahu ia telah dikhianati Pang Laot, ia begitu murka, hingga mencabut rencongnya dan hendak menikam Pang Laot. Namun usahanya tidak berhasil.

Kemajuan teknologi berhasil mengabadikan Tjut Nyak Dhien yang telah tertangkap. Kamera berhasil mengabadikan wajahnya yang bersedih saat ia ditawan. Bersama keponakannya, T. Nana, 11 Desember 1906, wanita perkasa itu dibuang ke Sumedang, karena dianggap membahayakan keamanan. Dua tahun kemudian, 6 November 1908 ia wafat, jauh dari tanah yang dicintainya.[9]

Selepas Perang Jawa yang menghancurkan keuangan pemerintah Kolonial, sistem Tanam Paksa diberlakukan. Mereka berhasil menguras tanah air, hingga diperkirakan menangguk keuntungan 832 juta gulden atau setara dengan 600 triliun rupiah saat ini.[10]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement