Senin 14 Dec 2020 05:01 WIB

Mengenang Perjuangan Politik Islam: Mereka Yang Dilumpuhkan

Inilah kisah perjuangan Islam melawan kolonial.

Pangeran Diponegoro mengenakan serban dan berkuda di antara para prajuritnya yang tengah berisitirahan di tepian Sungai Progo.
Foto: Gahetna.nl
Pangeran Diponegoro mengenakan serban dan berkuda di antara para prajuritnya yang tengah berisitirahan di tepian Sungai Progo.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Badan kurusnya terbujur di sebuah gubuk reyot ditengah hutan rimba, Bagelen Barat. Ia sedang berjuang melawan malaria tropika parah yang menghantam tubuhnya.

Bukan hanya malaria yg turut merontokkan perjuanganannya selama ini. Tapi juga tertangkapnya Kiyai Maja, dan menyerahnya sang panglima Sentot Ali Basah. Saat itu, di sampingnya hanya ada dua orang punakawannya. Yang lain, tinggal sedikit dan tercerai berai.

Akhirnya surat itu datang juga.Tawaran berunding. Ia -Pangeran Diponegoro- menerima tawaran itu. Hatinya sudah tak sekukuh keyakinannya dahulu akan peperangan ini. Bukan main senang Jenderal De Kock. Ada juga kemungkinan peperangan ini akan berakhir dengan perundingan.

Namun apa lacur, datang surat dari Negeri Belanda. Raja Willem I sendiri yang menitahkannya. Di bawa langsung oleh Gubernur Jenderal Hindia yang anyar, Johannes Van Den Bosch.

“Jangan melakukan perundingan apa pun dengan dia…hanya dengan syarat pemenjaraan seumur hidup penyerahan diri dan penangkapannya diizinkan. Tidak ada syarat lain apa pun juga (yang dapat diterima).[1]

Sang Pangeran Jawa paham peperangan tak sedahsyat dulu. Perang Jawa memang melelahkan bagi kedua belah pihak. Diperkirakan 200.000 nyawa orang Jawa melayang. 15.000 tewas dari pihak Belanda. Seperempat lahan pertanian di Jawa rusak. Pemerintah Kolonial menanggung beban tak terperikan, 20 Juta gulden menguras kantong mereka. Keuangan mereka jebol. Ditambah lagi api perlawanan juga berkobar turut di Sumatera Barat. Atas luapan jiwa Islam pula.

Perundingan memang menjadi jalan yang memungkinkan bagi kedua pihak. Sayang, titah Raja Willem I itu datang terlambat, De Kock terlanjur menawarkan perundingan kepada Pangeran Diponegoro. De Kock dalam posisi sulit.

Pangeran datang bersama 800 orang pengikut yang menggabungkan diri selama perjalanan ke Magelang. Namun mereka bukanlah pengikut yang siap bertarung mati-matian. Sejatinya perjalanan itu adalah perjalanan bebasnya yang terakhir. De Kock bukannya tanpa tekanan. Ia melukiskan perasaannya yang sudah terlanjur mengajak berunding, namun dilarang oleh Raja Willem I.

“Saya menyadari bahwa cara bertindak seperti itu di pihak saya tidak terpuji, tidak kesatria, dan licik (onedel en oneerlijk) karena Diponegoro telah datang ke Magelang menemui saya dengan niat baik.”[2]

Setelah menunggu hingga berakhirnya bulan puasa, hari penentuan telah tiba. 28 maret 1830. Awalnya pertemuan begitu hangat. Kemudian keadaan mulai menemui kebuntuan. Pangeran tidak mengharapkan untuk menyelesaikan pembicaraan apa pun hari itu.

Tetapi, ketika tahu ia tidak boleh pergi, Pangeran begitu marah. Apa yang dijanjikan; jika tidak ada kesepakatan, seharusnya Pangeran Diponegoro boleh pergi. De Kock tahu, hal itu tidak mungkin. Titah Raja Willem I tak mungkin ditampik.

Lagipula, ia ingin perang ini segera berakhir. Pangeran Diponegoro kemudian dikepung. Tapi tak ada perlawanan. Hari itu Sang Pangeran takluk dibawah kuasa De Kock.

Namun justru saat itulah kisah heroik sang pangeran sampai pada lembaran yang terakhir. Ia dilumpuhkan dengan penipuan. Apakah pangeran tahu bahwa ia akan diingkari? Mungkin saja. Yang pasti sejak beberapa bulan sebelumnya, ia pernah berkata kepada Mangkubumi, bahwa dirinya telah menerima pertanda (wangsit) bahwa perjuangannya akan sia-sia.[3]

Lembaran pemimpin perang ini berganti menjadi lembaran hidup seorang tahanan yang diasingkan. Dari Batavia ia dibawa ke Manado. Setelah tiga tahun di Manado,ia diasingkan ke Makassar. Di dalam Benteng Rotterdam. Ditemani istrinya, Raden Ayu Retnoningsih, di sana ia menjalani hari-hari hingga ajal menjemputnya. Menjelang Revolusi Perancis, 1848, sebuah Koran Perancis memuat kehidupan Sang pangeran dipengasingan.

“Dikurung di antara empat dinding tembok suatu benteng kecil, terpisah dari keluarganya, diawasi dengan ketat, tak diizinkan menulis surat baik kepada Gubernur-Jenderal, maupun kepada orang lain, diperlakukan selama delapan belas tahun terakhir ini dengan cara-cara yang keras dan kejam yang tidak layak dilakukan oleh negeri ini.”

Dalam pengasingannya, ia merindukan sosok ibunya, Raden Ayu Mangkorowati untuk menemaninya. Permintaannya agar sang Ibu didatangkan ke Makassar tidak pernah dipenuhi. Dalam rasa rindu yang begitu dalam kepada ibunya, bilamana ada kapal uap memasuki Bandar Makassar, dirinya akan menaiki tangga ke lantai teratas untuk menatap lepas ke pelabuhan. Guna melihat apakah sang ibu telah tiba. Berharap kapal-kapal tersebut akan membawa ibundanya.

Sampai akhir hayatnya, harapan itu tak pernah tercapai. Sang Pangilma perang itu pun wafat sebagai orang yang terasing dari bangsanya sendiri dalam kesepian.

                         **

Sungguh, padamnya perang Jawa membuat Pemerintah kolonial Belanda, bertindak leluasa. Api peperangan di Sumatera Barat yang dikobarkan Haji-Haji “Paderi” beberapa tahun sebelumnya akhirnya semakin redup. Pasukan pemadam perlawanan para Tuanku itu kini didatangkan bertubi-tubi. Jawa bukan lagi beban yang memberatkan. Kaum Paderi yang telah terkoyak serta terpecah menunggu ajalnya.

Inilah pertahanan Paderi yang penghabisan. Setelah menyerahnya Tuanku Imam Bonjol, pasukan Belanda menggabungkan kekuatannya menggempur Dalu-dalu. 28 Desember 1838. Sudah 14 bulan lamanya mereka berusaha mengepung pertahanan Dalu-dalu. Kurban sudah bergelimpangan. Haji Muhammad Saleh, lebih dikenal dengan Tuanku Tambusai, adalah sisa dari tokoh Paderi yang diburu. Benteng paderi terakhir itu akhirnya benar-benar tumbang. Pengikutnya banyak yang gugur ditembaki. Sebagian lainnya mundur keluar gerbang. Menuju ke sungai. Perahu yang hendak dipakai melarikan diri tak mencukupi. Banyak dari mereka yang melompat ke sungai. Esoknya banyak yang mati mengambang di sungai itu. Entah ditembaki atau karena tenggelam tak pandai berenang. Mereka yang berhasil menyeberangi sungai mati dibunuh jua. Tapi Tuanku Tambusai tak jelas rimbanya. Menurut cerita yang beredar kemudian, ketika benteng runtuh, ia menyelamatkan diri ke sungai dengan menggunakan sampan. Ia kemudian dihujani peluru. Melihat bahaya mengancam ia terjun ke dalam air dan menyelam. Kemudian menghilang, hingga kini. Yang tersisa hanya sampannya. Di dalamnya ditemukan cincin stempelnya. Al Qur’an, dan kita-kitab yang dibawanya dari Mekkah. Dengan runtuhnya Dalu-dalu, berakhir sudah perlawanan kaum Paderi di sumatera.[4]*

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement