REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM — Gerbang Damaskus bagi warga Palestina di Yerusalem adalah refleksi dari budaya, signifikansi politik dan situs komunitas. Namun, hal tersebut seakan hilang saat Israel di Yerusalem mendirikan tanda bertuliskan "Ma'Alot Hadar VaHadas, atau "Langkah Hadar dan Hadas" dalam bahasa Ibrani pada Oktober lalu, menyusul petugas polisi Israel yang meninggal dalam konfrontasi dengan warga Palestina di wilayah itu pada 2016 dan 2017.
"Sebagai orang Yerusalem, kami melewati [Gerbang Damaskus] setiap hari, dan kami terkejut melihat [kota] mengubah nama tempat penting bagi kami, sebagai orang Palestina," kata warga Palestina Rami Saleh dikutip dari Middle East Eye, Jumat (4/12).
Dia menambahkan, lokasi itu kerap digunakan untuk menyerukan hak-hak warga Palestina. Terlebih, ketika lokasi itu dianggap bersejarah dan kerap ditinggalkan warga lokal, menyusul banyaknya warga yang berguguran saat berdemonstrasi.
Berdasarkan informasi, keputusan mengganti nama tersebut, diajukan oleh komite nama jalan Yerusalem pada 24 September 2019, setelah aplikasi diajukan oleh kedua keluarga polisi tersebut dan didorong oleh anggota dewan kota Dan Illouz.
Padahal, jika menilik lebih jauh ke belakang, setidaknya ada puluhan warga Palestina yang dibunuh oleh pasukan Israel di Gerbang Damaskus selama bertahun-tahun. Utamanya, selama gelombang kerusuhan di akhir 2015. Banyak kematian semacam itu tidak pernah diselidiki oleh otoritas Israel.
Menanggapi hal tersebut, Pusat Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Yerusalem (JLAC) menerbitkan petisi daring sebagai tanggapan atas keputusan pemerintah kota. Mereka juga menyebut langkah tersebut sebagai "nama kolonial yang melayani narasi pendudukan".
Petisi tersebut selanjutnya menegaskan, Palestina akan terus merujuk ke daerah tersebut sebagai anak tangga Bab al-Amud (berarti "gerbang kolom", nama untuk Gerbang Damaskus dalam bahasa Arab), nama asli untuk pintu masuk barat laut ke Kota Tua.
Selain petisi ini, JLAC juga berencana mengajukan keberatan ke pemerintah kota. Organisasi tersebut berpendapat bahwa dengan tidak berkonsultasi dengan warga Palestina, pemerintah kota Yerusalem “melanggar prinsip persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan yang ditetapkan dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat”.
Lebih jauh, pejabat di kantor walikota tersebut juga telah menepis jika nama Gerbang Damaskus itu berubah, menurutnya perubahan hanya ada di bagian tangga. Namun tetap, sejarawan arsitektur dari Universitas Al-Quds Yousef Natsheh menolak logika ini.
“Penamaan anak tangga Gerbang Damaskus dengan nama yang berbeda merupakan upaya untuk memisahkan monumen Gerbang Damaskus dari ruang arsitekturalnya,” kata Natsheh dalam pernyataan keberatan.
Menurutnya, upaya ini adalah ruang bagi perbatasan Gerbang Damaskus. Hal tersebut juga diumpamakannya sebagai pemisahan antara jiwa dan tubuh.
Israel sejauh ini memang telah menunjukkan penggunaan bahasa Israel di wilayah itu untuk menegaskan dominasinya atas Palestina. Langkah itu, dikenal oleh analis kebijakan Al-Shabaka Zena Agha sebagai "pembangunan bangsa Zionis".
"Menembus ke Al-Quds, Anda dapat melihat tanda bertuliskan 'Yerushalayim' yang ditulis dalam bahasa Arab," kata Agha kepada Middle East Eye, merujuk ke Yerusalem dengan nama Arabnya.
Saat komite penamaan Israel berupa untuk menghilangkan bahasa Arab dari peta, Saleh menunjukkan jika pemerintah Israel tampaknya memang mengabaikan area yang dinamai oleh Mandat Inggris. Dari mulai King George Street ataupun King Faisal Street.
"Mereka belum mengubah nama-nama ini, jadi mengapa mereka mengubah nama warisan Palestina? Itu jelas bagi kami. Ini adalah tindakan kolonialisme oleh pemerintah kota Israel,’’ " Kata Saleh.