"Pada saat itu, saya berpikir untuk bertahan hidup dan melindungi ibu saya," kenangnya, dilansir di Al Araby, Senin (16/11).
Dia terkejut dengan tanggapan seorang teman terhadap ceritanya. Temannya berkata kepadanya, "Saya merasa penasaran Anda lebih suka hidup di bawah pendudukan daripada tinggal di AS sebagai warga negara".
Kemudian dia akhirnya memutuskan tidak pergi. Namun sebaliknya, dia melanjutkan pekerjaannya sebagai advokat dan guru.
"Saya melihat sekeliling dan melihat saya memiliki kewajiban kepada komunitas saya. Saya memiliki kewajiban mengangkat komunitas dengan pengalaman saya dalam advokasi," kata Jodeh.
"Kami menemukan diri kami di perahu yang sama. Kami membutuhkan sebanyak mungkin orang untuk mengarahkan perahu itu menuju keadilan sebanyak yang kami bisa dapatkan. Saya pikir pada saat itu, melihat diri saya di cermin setelah pemilu, saya juga tahu bahwa saya memiliki kewajiban untuk orang-orang di komunitas saya," ujar Jodeh
Keterampilan advokasi Jodeh dimulai sejak kecil, ketika dia akan mendorong sekolahnya untuk merayakan bulan suci Ramadhan. Selama Perang Teluk 1991, keluarga tersebut menerima panggilan telepon yang mengancam, tetapi itu tidak menghalangi mereka menjembatani kesalahpahaman tentang Muslim dan Timur Tengah.