Dia bertemu dengan teman Muslim yang memotivasinya mempelajari Islam. Pria itu bernama Sharif.
Dia adalah seorang lelaki tua yang bekerja di program tutorial. Dia menjelaskan sementara pekerjaannya hanya menghasilkan sedikit imbalan uang, kesenangan yang dia peroleh dari mengajar siswa memberi dia semua imbalan yang dia butuhkan. Dia berbicara dengan lembut dan tulus.
"Saya harap memiliki kedamaian jiwa ketika saya mencapai usianya. Itu terjadi pada 1987,"ujar dia.
Ketika Karima bertemu lebih banyak Muslim, dia tidak hanya terpesona oleh kedamaian batin mereka, tetapi oleh kekuatan iman mereka. Jiwa lembut ini kontras dengan citra kekerasan dan seksis yang dipikirkannya tentang Islam.
Kemudian Karima bertemu dengan Imran, seorang teman Muslim yang dia sadari adalah tipe pria yang ingin dia nikahi. Dia cerdas, tulus, mandiri, dan damai dengan dirinya sendiri.
Ketika mereka berdua sepakat ada peluang untuk menikah, Karima mulai serius mempelajari Islam. Awalnya, dia tidak berniat menjadi Muslim. Karima hanya ingin memahami agama pasangannya karena dia telah menjelaskan dia ingin membesarkan anak-anaknya sebagai Muslim.
Dalam benak Karima jika mereka menjadi tulus, damai dan baik seperti dia, maka tidak masalah dengan itu. Tapi Karima merasa berkewajiban untuk memahami Islam lebih baik dulu.
"Saya menyadari saya tertarik pada jiwa-jiwa yang damai ini karena saya merasakan kurangnya kedamaian dan keyakinan batin saya sendiri. Ada kekosongan batin yang tidak sepenuhnya puas dengan keberhasilan akademis atau hubungan antarmanusia," ujar dia.