REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Imas Damayanti, jurnalis Republika.co.d
JAKARTA – Di abad kegelapan atau orang Eropa lebih senang disebut sebagai Abad Pertengahan, Eropa berbenah dan bergerak dari kebodohan menuju gempita ilmu pengetahuan. Transformasi sosial, budaya, sains digelorakan. Para intelektual mulai tumbuh dan berkembang menyuarakan hal-hal baru, progresif, dan bermartabat bagi peradaban umat manusia.
Eropa sebelumnya memang terbelenggu dengan dominasi gereja. Dominasi gereja sangat kuat dalam berbagai aspek kehidupan, banyak kebijakan yang dibuat pemerintah dengan intervensi gereja. Jika tidak sesuai dengan keputusan gereja, maka apapun yang diterapkan akan mendapat balasan yang kejam.
Misalnya adalah pembunuhan Copernicus yang mencetuskan teori helio centris, yakni paham mengenai tata surya yang berpusat di matahari. Sementara kepercayaan gereja kala itu menyebutkan bahwa pusat tata surya adalah bumi. Selain Copernicus, korban-korban lainnya pun banyak berjatuhan seiring dengan dianggap menyimpangnya pemikiran ilmu pengetahuan mereka dari gereja.
Tak sedikit pula para intelektual yang enggan menerima doktrin mitos dan tahayul sebagai bagian dari ajaran Ibrahim. Isaac Newton dalam bukunya The Philosophical Origins of Gentile Theology menyebut bahwa agama Ibrahim adalah agama yang tidak mengajarkan paham tahayul. Perenungan terhadap rasionalitas pun dijunjung tinggi Ibrahim sebagai medium menemukan Tuhan.
Kemudian, filsafat humanisme dalam bentuk ideologi tersebar secara psikologis kepada masyarakat Eropa yang hidup di zaman pertengahan. Humanisme inilah yang dijadikan dasar kebebasan berpendapat dan mengaktualisasikan diri dengan tidak memberangus kemanusiaan orang lain. Lambat laun, paham ini kemudian lebih familier dengan sebutan hak asasi manusia (HAM).
Meskipun jika ditarik lebih jauh, perjalanan sejarah HAM telah ada jauh sebelum abad tersebut. Khususnya bagi umat Islam, paham HAM bukan dicetuskan Eropa di Abad Pertengahan. Paham ini justru muncul dan disebarluaskan Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang dijabarkan dalam buku Muhammad Sang Teladan karya Abdurrahman As-Syarqawi.
Konsep HAM dalam Islam adalah bagaimana manusia dipandang sama rata, apapun jabatannya, rasnya, bahasanya, di sisi Allah SWT kecuali takwa dan imannya. Manusia boleh mendapatkan haknya, namun juga harus mengingat dan menjalankan kewajibannya sebagai seorang hamba. Nabi Muhammad lah pelopor yang memperjuangkan kemanusiaan sebagaimana pesan dari Langit.
Nabi membebaskan budak-budak dari sistem jahiliyah di masanya, memberikan hak kepada wanita untuk menyuarakan aspirasi, mengatur sistem gender yang berkeadilan, hingga mengakomodasi pemikiran-pemikiran brilian kaum marjinal. Tak heran misalnya, banyak dari sahabat-sahabat Nabi yang tadinya merupakan seorang budak atau orang-orang miskin.
Tentu saja konsep HAM Barat dengan Islam sangat berbeda. HAM bukan berarti bebas sebebas-bebasnya dengan menanggalkan kebebasan orang lain, begitulah umat Islam diajarkan.
Di satu sisi, gerakan renaissance memang membangkitkan gelora ilmu pengetahuan, seni, dan budaya yang begitu luar biasa. Namun berbarengan dengan itu, masyarakat Eropa menjadi skeptis terhadap agama. Tak sedikit dari mereka yang berpikir bahwa agama adalah suatu hal yang akan memberangus ilmu pengetahuan.
Ucapan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang menyatakan bahwa Islam mengalami krisis sepertinya layak disandingkan dengan pemikiran Karl Marx soal agama. Macron yang mengaku sebagai umat beragama nan demokratis itu kemungkinan sudah layak disandingkan dengan tokoh komunisme itu.
Karl Marx dalam bukunya berjudul Economic and Philosophical Manuscript menyebutkan bahwa agama merupakan gejala masyarakat yang sakit. Agama bagi Karl Marx adalah candu yang dapat merusak tatanan sosial.
Dan bagi Macron, Islam sebagai agama telah membuat penganutnya mengalami krisis. Baginya, terorisme erat kaitannya dengan ajaran Islam. Lupa bahwa dari 1,3 miliar umat Islam di dunia, sebagian besar dari itu berprofesi sebagai insan-insan berprestasi dan menjunjung tinggi toleransi.
Alih-alih menyebut Macron sebagai umat beragama, barangkali ia layak disebut sebagai penganut sekularisme atau bisa jadi tak beragama sama sekali. Dalam buku Wajah Peradaban Barat karya Cendikiawan Islam Adian Husaini dijelaskan, bagi banyak kaum Kristen, sekularisasi nampaknya menjadi satu keharusan yang tidak dapat ditolak.
Sekularisme tumbuh di Eropa akibat adanya trauma dominasi gereja di masa lalu, sistem ini pada akhirnya menjadi penawar sekaligus racun bagi umat Kristen modern.
Dan lagi-lagi saat ini, setelah Trump dan berbagai elite politik dunia menumbuhkan Islamofobia, kini seorang pemimpin di negara maju yang menggaungkan gerakan renaissance berlaku menggelikan. Seolah bayangan keagungan renaissance runtuh dari sosok Macron yang rasis.