REPUBLIKA.CO.ID,
يَا بْنَ آدَمَ! اسْتَقَامَتِ السَّمَاوَاتُ فِي الْهَوَاءِ بِلاَ عَمَدٍ بِاسْمٍ وَاحِدٍ مِنْ أَسْمَائِيْ وَ لَمْ تَسْتَقِمْ قُلُوْبَكُمْ بِأَلْفِ مَوْعِظَةٍ مِنْ كِتَابِيْ
“Wahai manusia! Langit tegak berdiri di angkasa hanya dengan satu nama di antara nama-nama-Ku, tanpa tiang penyangga. Sementara hatimu tidak pernah bisa tegak lurus dengan seribu nasihat dari Kitab-Ku.”
Hadits ini merupakan hadits qudsi kesembilan yang dinukilkan dari kitab Al-Mawaa-idz Fil Ahaadits Al-Qudsiyyah. Hadits-hadits peringatan dihimpun Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali. Sudah barang pasti, ini adalah hadits qudsi pilihan, sesuai tema dan terma masalah yang disorot Imam Ghazali.
Sebagai kumpulan firman, di luar Alquran, sudah barang pasti pula, hadits qudsi akan selalu berguna bagi kita dalam perjalanan menuju Allah SWT.
Peringatan kesembilan sangat tepat kita gunakan untuk mengukur, menghitung, dan bermuhasabah. Sudah sebanyak apa amal saleh kita kumpulkan, sebesar apa pahala yang akan kita terima, sejauh mana kita sudah melangkah menuju Allah, sedekat apa kita dengan surga keridaan-Nya, sejauh mana kita menghindarkan diri dari sergapan api neraka.
Sudah sejauh mana kita biasa menolak ajakan setan dan sudah sebesar apa keberanian kita berkata tidak menghadapi tipu daya bala tentara setan dan iblis.
Ada begitu banyak varian godaan, tipu daya serta perangkap yang dipasang musuh-musuh anak manusia-setan, dalam safar ilahiy ini. Harta, takhta, dan wanita hanya satu varian di antaranya.
Anak-anak dan harta kekayaan, juga perangkap yang dapat menjebak kita dalam kehidupan. Anak-anak dan harta kekayaan sering membuat kita abai terhadap Allah. Allah mengingatkan, jangan sampai harta dan anak-anak mengabaikan kita dari mengingat Allah. Artinya, Allah haruslah menjadi pusat.
Allah haruslah menjadi alasan untuk apa kita hidup. Sebagaimana pula Dia harus jadi alasan kenapa kita mesti mati. Allah harus diletakkan sebagai dasar kita memulai perjalanan dan meletakkan-Nya sebagai tujuan akhir dari perjalanan.
Untuk ini semua, perangkap harta, takhta, dan wanita paling besar pengaruhnya dalam kehidupan kita. Karena harta, banyak di antara kita yang melupakan Allah, mengabaikan persaudaraan, memutuskan hubungan silaturahim.
Untuk harta, kita sering menghalalkan segala cara. Untuk menjaga harta, semua kita lakukan, meski harus kehilangan iman dan Islam sekalipun. Demi harta, anak kita abaikan, istri kita abaikan, orang tua kita lupakan, tetangga kita singkirkan, teman kita jadikan lawan, lawan kita jadikan kawan, halal kita haramkan, haram kita halalkan.
Sabda Rasul SAW, tidak mencuri seseorang jika di hatinya masih ada iman. Artinya, saat seorang mencuri, korupsi, menyuap, menerima suap, ia lagi kehilangan keimanannya.
Demi takhta, jabatan, derajat sosial, kehidupan berkelas, kita sering sikut kawan seiring, gunakan harta untuk membeli uang dalam pemilu, hamburkan harta agar tercapai kelas sosial yang lebih tinggi. Kita sering memilih berteman hanya dengan kaum yang sederajat dalam harta.
Sering kegiatan memberi kita lakukan dengan harapan dapat imbalan sosial yang lebih tinggi. Memberi agar kita dikatakan dermawan. Berderma hanya agar kita disebut hartawan yang berhati malaikat rahmat.
Harta dan kekayaan serta anak-anak yang membanggakan adalah perangkap yang bisa membuat kita tejerembab ke lubang kenistaan. Harta dan anak-anak adalah pisau bermata dua.
Kalau kita gunakan sebagaimana alasan penciptaannya maka harta dan anak-anak akan mampu mengantarkan kita dekat kepada Allah. Tetapi, jika kita terbuai karena manisnya cinta harta dan kebanggaan nisbi atas anak-anak maka pisau itu akan menusuk hingga ke jantung keimanan kita.
Kita bisa terjerumus karena harta tetapi bisa terselamatkan juga karena harta. Itulah kenapa Allah sering mengingatkan agar kita meletakkan harta hanya sebatas titipan, di dalamnya ada hak orang lain sehingga ketika Yang Punya memintanya kembali maka kita harus menyerahkannya sebagaimana aslinya.
Sering kita merasa keberatan karena terlalu lama harta bersama kita. Nabi mengingatkan agar kita tak lama-lama tingal bersama harta sebab jika waktu berpisah tiba, kita tak akan keberatan.
*Naskah ini cuplikan dari artikel almarhum KH Hasyim Muzadi yang tayang di Harian Republika.