Senin 28 Sep 2020 10:06 WIB
PKI

Umat Islam, PKI, Militer: Babak Akhir Jelang September 1965

Pertarungan di babak akhir jelang GSO S PKI antara PKI, Umat Islam, dan miiliter

Massa berunjuk rasa di kantor CC PKI yang terletak di Jl Kramat Raya Jakarta atau persis berada di sebarang kantor PBNU, pasca meletusnya peristwa G30S/PKI..
Foto:

Di akar rumput, NU berupaya melindungi umat Islam dari aksi ofensif pendukung PKI. Salah satunya lewat Gerakan Pemuda Anshor yang membentuk Barisan Ansor Serbaguna (Banser).

Sebagai organisasi kepemudaan di bawah Nadhlatul Ulama, GP Ansor turut berperan melindungi kepentingan umat Islam pada masa-masa mencekam tersebut. GP Ansor menyebarkan “Doktrin Lima Pertinggi.” Pertama, Pertinggi disiplin organisasi; kedua Pertinggi kewaspadaan; ketiga, Pertinggi kesetiaan terhadap partai; keempat, pertinggi menggunakan taktik dan keuletan dalam berpolitik; kelima, Pertinggi kemampuan fisik dan mental anggota.[25]

Kiprah Banser terutama aktif dalam melindungi kepentingan massa NU dari aksi sepihak BTI baik di Surabaya, Kediri, Sidoarjo dan . Bahkan menurut Haji Yusuf Zakaria, sejak 1961, GP Ansor Jawa Timur mengadakan konsolidasi intensif  di bawah Hizbullah Huda. Sejak 1963 hampir seluruh ranting GP Ansor memiliki pasukan drumband dan Banser.[26]

Selain NU, organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah memainkan peran yang tidak frontal dengan kebijakan Presiden Soekarno pada masa itu. Hal ini terkait dengan situasi politik yang mencekam dan di satu sisi Muhammadiyah memiliki kaitan erat dengan Masyumi. Meski Muhammadiyah melepaskan ‘ikatannya’ dengan Masyumi sebagai anggota istimewa pada 8 September 1959 namun tak dapat dipungkiri sikap politik Masyumi adalah sikap politik sebagian besar warga Muhammadiyah.[27] Ekspresi politik pasca putusnya ikatan dengan Masyumi diserahkan pada anggotanya masing-masing. Seperti yang dinyatakan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Kol. Junus Anis, 

“Anggota Muhammadijah jang duduk dalam pemerintahan dewan2 perwakilan atau partai politik, adalah atas nama mereka masing2.”[28]

Muhammadiyah sendiri beradaptasi dengan situasi politik dengan mendukung Manifesto Politik dan USDEK-nya dan konsep Nasakom. Ketua PP Muhammadiyah dalam pidato Iftitah Muktamar Muhammadiyah ke-36 tahun 1965, menyatakan Muhammadiyah sebagai alat revolusi dan dukungan terhadap konsepsi Presiden, termasuk Nasakom.

“Kami berpendirian dan berfikiran bahwa solidaritas jang ichlas dan kekompakan Uchuwwah Islamijah jang djudjur dan tulus, antara ormas dan orpol2 Islam, Insja Allah dapatlah kiranja menggalang utuhnja kekuatan2 Progressip Revolusioner berporoskan Nasakom, jang oleh Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Pahlawan Islam dan Kemerdekaan/Panglima Tertingi kita Bung Karno benar2 diharapkan terutama dalam usaha2 meningkatkan konfrontasi kita terhadap nekolim.”[29]

Keterangan foto: Ketua PKI DN Aidit berpidato di hadapan massa Gerwani di Jakarta tahun 1962. Sumber foto: Dokumentasi perpusnas.

Dukungan terhadap konsep Nasakom ini dapat dianggap sebagai sulitnya posisi ormas Islam pada saat itu. Meski mereka secara resmi membuat pernyataan dukungan terhadap keseluruhan konsepsi Presiden, termasuk Nasakom di dalamnya, namun pada prakteknya di akar rumput yang terjadi adalah sebaliknya. Kelihaian pernyataan-pernyataan seperti ini banyak dimainkan tokoh Muslim dan Ormas Islam pada saat itu. Muhammadiyah pada hasil Muktamarnya ke-36 juga menyatakan,

“Menerima prasaran2 untuk disempurnakan oleh PP Muhammadiyah dalam waktu sesingkat2nja agar tertjacapi suatu konsepsi tentang peranan Islam dalam Pelaksanaan Sosialisme Indonesia, baik Islam sebagai sumber2 adjaran maupun Islam sebagai potensi revolusi.”[30]

K.H. A. Badawi juga berusaha menempatkan peran Agama agar tak terpinggirkan dengan konsep ‘Nation Building’. Sama seperti NU, konsep ‘Nation Building’ ini menjadi senjata bagi kelompok Islam untuk menghadang gerak PKI dan menguatkan eksistensi kelompok Islam. 

“ Untuk membentuk manusia baru jang militan, salah satu diantara unsur mutlak jalah agama seperti jang oleh Presiden kita/Panglima Tertinggi Pemimpin Besar Revolusi/Anggota setia Muhammadijah Bung Karno telah dinjatakan bahwa: Agama adalah unsur mutlak dalam pembinaan bangsa.”[31]

Pun demikian Muhammadiyah masih menerima tekanan-tekanan terkait hubungannya dengan Partai Masyumi. Dalam kesempatan yang sama, K.H. A Badawi menyatakan,

“Achir2 ini nampak djelas ada jang sengadja untuk mengaburkan masjarakat terhadap Muhammadijah dan dihubungkan dengan pembubaran partai politik Masjumi. Padahal kalau orang tidak hendak sengadja melupakan usaha2 Muhammadijah dalam ikut serta membina djiwa kemerdekaan Nasional jang telaj 50th ini, tnetulah mereka tahu bahwa Muhammadijah sedjak tahun 1912 berdiri, sedang Masjumi barulah mulai tahun 1945 didirikan.”[32]

Seperti halnya NU, peran Muhammadiyah yang tidak konfrontatif dengan Presiden Soekarno membuat mereka di satu sisi terpaksa mengikuti irama politik saat itu termasuk tidak menolak terang-terangan konsep Nasakom. Tokoh-tokohnya pun ikut serta dalam pemerintahan seperti  Muljadi Djojomartono (Menteri Koordinator) dan KH Farid Ma’ruf (Menteri urusan Haji).

Koreksi-koreksi terhadap kebijakan Soekarno dilakukan dengan pendekatan pribadi para tokohnya. Jika di NU, K.H. Saifuddin Zuhri dan K.H. Wahab Hasbullah memainkan peran ini, maka di Muhammadiyah, K.H. A. Badawi yang berperan. K.H. A. Badawi mengambil resiko dengan menerima jabatan anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang memang berfungsi sebagai pemberi masukan pada Presiden. ). Djarnawi Hadikusuma, seorang tokoh Muhammadiyah, mengisahkan betapa K.H. A. Badawi berulangkali menasehati Soekarno.

“Maka dalam mendjalankan tugas meng-aproach kepada Presiden Sukarno pada waktu itu , ternjata K.H.A. Badawi sangat success dengan tjara jang chas, jaitu tidak mendjilat dan tidak mendjadi anteknja Bung Karno, tetapi dengan djalan kerap kali bersilaturahmi, memberi nasehat dan menegor kesalahannja Bung Karno jang perlu ditegor dengan gaja dan nada sebagai seorang kiai kepada seorang Islam biasa.”[33]

Menghadapi tekanan-tekanan sosial dan politik yang begitu keras dan semakin mendidih, umat Islam akhirnya bersepakat. Pada tanggal 12 Maret 1965, NU bersama Muhammadiyah, Gasbiindo serta Syarekat Islam mengeluarkan pernyataan sebagai berikut:

“Menegaskan bahwa setiap perongrongan terhadap segolongan  atau sebagain Ummat Islam, dianggap sebagai perongrongan terhadap Ummat Islam secara keseluruhan dan karenanya harus dihadapi secara konsekuen dengan persatuan Islam yang bulat.”[34]

Situasi demikian sulitlah yang harus dimainkan oleh kelompok Islam dalam upayanya membendung pengaruh PKI. Namun, perlahan tapi pasti PKI juga semakin membuka jalannya menuju kekuasaan. Meski PKI belum juga masuk kabinet hingga 1965, namun Aidit memperoleh jabatan prestisius sebagai Wakil Ketua MPRS yang setaraf dengan Menteri, meski tanpa portfolio. Digesernya A.H. Nasution dari Panglima Angkatan Darat menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata yang administratif membuat kekuasaan kekuasaan di kubu Angkatan Darat berubah. Ahmad Yani, meski dikenal anti-komunis namun ia bukanlah oposisi bagi Soekarno.[35]

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement