REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Beggy Rizkiyansyah, Penulis Sejarah dan Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa
“Nah didalam hal ini, didalam segala politik Republik Indonesia, ja bagian “Malaysia”, ja bagian berdikarinja ekonomi, ia bagian berdaulatnja politik. Ia bagian berkepribadiannja kebudajaan, selalu PKI adalah berdiri dibarisan jang paling depan daripada barisan Indonesia ini. Karena itupun saja tanpa tedeng aling2, jo PKI kene dulurku, kene dulurku, jo sanak jo kadang jen mati aku sing kelangan. Memang demikian Saudara2. Manakala saja didalam Kongres jang ke-VII daripada PKI berkata : PKI “go ahead”! Berdjalanlah terus, artinja go ahead. Sekarang pun saja berkata PKI, go ahead ! PKI, madju, onward, onward, never retreat !”[1]
Kutipan di atas adalah pidato Bung Karno dalam hari ulang tahun PKI ke 45 tanggal 25 Mei 1965 di depan ribuan masa yang memadati Stadion Senayan Jakarta. Pidato itu kemudian menjadi buku saku dengan tajuk: "Subur, Subur, Suburlah PKI". Buku ini diterbitkan oleh Jajasan Pembaruan, Jakarta.
Namun ironinya, sejak beralih total mendukung Soekarno, PKI justru menelan pil pahit dengan menempatkan perjuangan kelas dibawah perjuangan nasional, PKI memang semakin menapaki tangga kekuasaan. Namun di balik itu, PKI terkunci oleh sebuah ‘permainan’ keseimbangan kekuasaan oleh Soekarno. Soekarno mampu mengurung PKI dalam politik kekuasaan yang disebut Donald Hindley, poltik ‘domestikasi’ PKI.[2]
Sebuah upaya oleh Soekarno untuk memberikan perlindungan bagi legalitas dan eksistensi PKI dan organisasi-organisasi yang bernaung di bawahnya, tetapi di lain sisi, Soekarno juga mampu memaksa PKI untuk tunduk dalam aturan-aturan yang dibuatnya.
Diantaranya adalah memaksa PKI untuk berakrobat menerima Pancasila, ikut pada UUD 1945 dan lainnya. Soekarno juga mampu untuk melunakkan militansi kader-kader atas PKI dengan memberi kekuasaan pada PKI secara perlahan-lahan ditingkat daerah pada anggota-anggotanya. Memberikan materi dan kekuasaan, secara tidak langsung melakukan pemborjuisan bagi anggota-anggota PKI tersebut.[3]
Tahun 1963, keadaan mulai berbalik. PKI mulai memanaskan situasi politik dengan member tekanan keras pada lawan-lawan politiknya, termasuk yang paling keras adalah mendorong aksi-aksi sepihak di daerah-daerah yang menjadi basis lahan pertanian. Nampaknya PKI sejak tahun 1963 mulai bangkit dan hendak menaikkan daya tawarnya dengan melakukan aksi-aksi lebih keras sejak tahun tersebut.
Sejak tahun tersebut, aksi-aksi sepihak, ofensif-kultural, rituling, tekanan-tekanan terhadap kelompok lawan terus berjalan. Di lain sisi, Soekarno sendiri terus menggelorakan romantika revolusi. Pada tahun 1964 ia berpidato menyebut tahun tersebut tahun Vivere Pericloso, tahun yang menyerempet bahaya.
“…mencapai keyakinan bahwa tiada perjuangan besar dapat terselenggara tanpa rasa romantiknya-perjuangan, maka saya tidak berhenti-berhenti mentransferkan rasa romantik-perjuangan itu kepada Rakyat Indonesia. Segala pasang-naik dan pasang-surutnya perjuangan, segala pukulan yang kita berikan dan segala pukulan yang kita terima, adalah iramanya perjuangan, iramanya Revolusi. “Memukul, – hayo berjalan terus! Dipukul, – hayo berjalan terus!” Dentamnya Revolusi, yang kadang-kadang berkumandang pekik-sorak, kadang-kadang bersuara jerit-pedih, sebagai satu keseluruhan kita dengarkan sebagai satu nyanyian, satu simfoni, satu gita, laksana dentumnya gelombang samudera yang bergelora pukul-memukul membanting di pantai, kita dengarkan sebagai satu gita kepada Tuhan yang amat dahsyat.”[4]
Suasana terus dipanaskan dengan membangkitkan kesadaran patriotisme melawan neo kolonialisme (nekolim) dan antek-anteknya. Konfrontasi ‘Ganyang Malaysia’ tak henti bergelora. Setiap hari, lewat radio, masyarakat diingatkan akan aksi mengganyang Malaysia.
“Bersiaplah Tengku aku datang menentang maksudmu
Hadapilah Tengku aku akan merintang niatmu
Semangat bangsaku ’kan membara setiap penjuru
Kita berjuang membela keadilan di dunia
Kita menuntut merdeka bagi semua bangsa Bangkitlah serentak Afrika Asia”[5]

Di lain sisi, politik konfrontasi memiliki sisi kelamnya. Polarisasi masyarakat semakin tajam membelah. Masyarakat disekat antara revolusioner dengan kontra-revolusioner. Saling tuduh, saling cari selamat, meritul lawan politik atau bahkan sekedar pesaing dalam kehidupan sehari-hari. Semua mengajak untuk mengikuti irama revolusi. Siapa yang tak ikut, akan ditinggalkan. Di bulan Januari 1965, Wakil Perdana Menteri I sekaligus Menteri Luar Negeri, Dr. Soebandrio mengatakan,
“Revolusi kita memuntjak dan makin memuntjaknja revolusi kita makin besar djuga perongrongan dari nekolim, baik dari luar maupun jang mempunjai unsur-unsur didalam. Bahkan djangan Saudara-saudara nanti terkedjut, djangan Saudara nanti merasa kaget, kalau tahun 1965 djuga akan mengenal afvallers dalam revolusi kita. Jang kemarin mendjadi comrade in arms, teman seperdjuangan, teman pribadi, mungkin besok kita sudah harus berpisah, mungkin tetap mendjadi teman pribadi, tetapi tidak mendjadi teman seperdjuangan.”[6]
Rosihan Anwar, salah seorang jurnalis pendukung PSI kemudian menduga-duga dibalik pernyataan Soebandrio. “…apakah dalam tahun 1965 ini bakal terjadi sesuatu peristiwa yang menggemparkan yang akan mewujudkan kenyataan “kawan seperjuangan terpaksa kita tinggalkan?” Tetapi peristiwa itu seperti yang lazim dilakukan oleh kaum komunis ialah “pembersihan” atau purge dikalangan mereka sendiri. Tentu purge mungkin saja tetapi saya belum melihat tanda-tandanya. Ataukah saya mencari-cari terlalu jauh di balik perkataan Subandrio? Barangkali Subandrio bicara asal gagah-gagahan saja seperti kadang-kadang anak Indo dari Kemayoran yang mau bouwmaken, zeg? Entahlah.”
Partai Komunis Indonesia merangsek lebih agresif dengan menetapkan musuh-musuh mereka. Aidit misalnya dalam hasil penelitian tentang kaum tani di Jawa Barat selama Februari-Maret 1964 menetapkan musuh bagi petani, yaitu tujuh setan desa, yakni tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, kaptalis birokrat, tengkulak jahat, bandit desa dan penguasa jahat yang membela kepentingan kaum pengisap desa. Masalahnya penetapan musuh ini memiliki kriteria yang longgar pada prakteknya dilapangan. Meski telah menetapkan kriteria aksi dilapangan (jelas sasaran aksi, jelas kekuatan dan sandaran aksi, jelas cara melaksanakan aksi dan jelas waktu aksi), pada kenyataannya pada aksi-aksi sepihak menjadi aksi yang brutal dan longgar seperti yang sudah dibahas pada bagian sebelumnya.
Penetapan musuh oleh PKI juga dilakukan sebelumnya dengan mengidentifikasi yang mereka anggap kontra-revolusioner. Aidit dalam pidatonya yang berjudul “Hajo, Ringkus dan Ganjang Kontra-Revolusi!” pada ulang tahun PKI ke-43, tahun 1963 menetapkan 3 politik kelompok kontra-revolusioner, yaitu, anti-Soekarno, anti-Tionghoa dan anti-komunis.[7]
CC PKI dalam instruksinya pada bulan Juni 1965 kepada anggota partai, memerintahkan untuk terus memanaskan suasana yang menurut mereka sudah sampai pada situasi revolusioner. Ciri-ciri situasi revolusioner tersebut adalah;
“(1). Massa Rakjat sudah aktif berdjuang untuk adanja perubahan jang dapat memperbaiki penghidupan mereka. (2). Segi anti-Rakjat dalam kekuasaan politik makin terdesak, segi pro-Rakjat makin unggul dan politik pemerintah makin banyak yang disesuaikan dengan tuntutan2 Rakjat. (3) Aksi-aksi massa makin meluas sehingga peranan massa rakjat makin besar dan makin menondjol dalam kehidupan masjarakat dan politik Negara.”
Instruksi yang ditandatangani oleh Sudisman tersebut dengan jelas meminta agar aksi-aksi massa yang ofensif semakin ditingkatkan agar dapat mencapai kemenangan. Menurutnya, “Ofensif berarti sukses dan menang, defensive berarti gagal dan kalah.” Dengan gamblang (dan naïf?) CC PKI bahkan ‘menjanjikan’ bahwa aksi ofensif tersebut dapat menyelesaikan persoalan ekonomi.[8]

Wacana ‘situasi revolusioner’ juga makin digencarkan PKI. Pada pernyataan Politbiro PKI menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1965, Politbiro PKI menyerukan dalam pernyataannya yang berjudul “Lantjarkan Terus Ofensif Revolusioner Disegala bidang untuk Mengembangkan Situasi Revolusioner Sampai Kepada Puntjaknja!” agar aksi-aksi tersebut diperhebat untuk menyingkirkan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Menurut mereka,
“Revolusi kita belum selesai, bahwa kita harus menjelesaikan tahap pertama daripada revolusi kita, tahap nasional demokratis, sebagai sjarat untuk dapat meningkat dan memulai tahap kedua daripada revolusi kita, jaitu tahap sosialis. Jang dimaksudkan dengan menjelesaikan tahap nasional demokratis daripada revolusi kita, yaitu tahap Sosialis.”[9]
Partai Komunis Indonesia saat itu memang menapaki masa-masa puncaknya. Setidaknya mereka memiliki 3,5 juta anggota partai. Bukan hanya itu PKI memiliki dukungan dari 3 juta anggota Pemuda Rakjat, 3,5 juta anggota SOBSI, 9 juta anggota BTI, 3 juta anggota Gerwani, 5 juta anggota Lekra, dan 70 ribu anggota HSI.[10] Klaim 27 juta dukungan itu memberikan PKI partai dengan peluang terbesar sebagai pemenang jika Indonesia mengadakan Pemilihan Umum.
Kekuatan PKI memang masih berpusat di Pulau Jawa dan sedikit tambahan dari luar Jawa seperti Bali, dan Nusa Tenggara. Meski demikian, di elit politik, PKI, menjadi kekuatan terbesar pendukung Soekarno. Massa pendukungnya yang jauh lebih radikal dari PNI yang rata-rata dari kalangan priyayi dan birokrat. PKI mampu mengartikulasikan politik revolusioner Soekarno.
KH Saifuddin Zuhri, tokoh NU sekaligus Menteri Agama menuturkan situasi saat itu,
“Sekitar tahun 1963-1965, gerak PKI makin ofensif, melalui propaganda yang penuh agitasi dan demagogi menggerakkan seluruh tenaganya (petani, buruh, pemuda, perempuan, cendikiawan, seniman dan lain-lain) untuk bersikap lebih agresif dan militan. Semua digerakkan dalam semangat ateisme dan penghinaan terhadap agama. Dan PKI sesumbar seolah-olah gerakan mereka tak mungkin bisa dibendung oleh siapa pun. PKI merasa mendapat angin dari revolusi-revolusi yang tengah dikobarkan di RRC dan di Vietnam.”[11]
Di lingkaran Soekarno, satu persatu penghalang PKI disingkirkan. Para tokoh Partai Murba yang mencoba menghalangi PKI, seperti Chaerul Saleh, Adam Malik dan Sukarni tak lagi menjadi ancaman. Dukungan Chaerul Saleh dan Adam Malik kepada BPS akhirnya menyeret mereka tersingkir dari kekuasaan. Kedua terus menerus dikecam para pendukung PKI. Terlebih setelah Chaerul Saleh, mengutip sebuah dokumen, mengatakan PKI akan mengambil alih kekuasaan pada tahun 1970. Sayangnya dokumen tersebut tak bisa dibuktikan kebenaran dan asal usulnya sehingga membuat Saleh semakin terdesak. Partai Murba pun akhirnya dilarang Soekarno. Saleh dan Adam Malik disingkirkan dari kabinet pada bulan Maret.[12]
Di lain sisi PNI bukan lagi partai yang utama. Meski menjadi pemenang pemilu 1955, PNI tak bisa seradikal PKI mengikuti irama revolusi Soekarno. Tubuh PNI terjadi perpecahan. Sebagain tokoh PNI seperti Hardi dan Hadisubeno Sosrowedjojo menjadi penentang komunisme dan pengaruhnya dalam tubuh PNI. Keduanya perlahan disingkirkan kubu Ali Sastroamidjojo dan Surachman. Surachman memang disinyalir sebagian pihak sebagai sosok pro-komunis yang berhasil menginfiltrasi PNI.[13] Meski PNI semakin ‘ke kiri’ namun PNI tak selincah PKI dalam mengikuti gendang revolusi yang ditabuh Soekarno. Di akar rumput PNI terdapat penolakan yang kuat terhadap politik agraria.
Praktis elit partai di lingkaran Istana tak ada lagi yang mampu mengalahkan dominasi PKI. Partai NU memang mendapatkan beberapa jabatan bagi para tokohnya. Namun secara umum NU tak dapat mengimbangi manuver PKI dalam mempengaruhi politik Soekarno. Peran NU lebih terasa dalam melindungi kepentingan umat Islam.
“Tak ada kiprah PKI yang tidak ditandingi oleh NU. PKI membanggakan massanya, NU pun mengerahkan jama’ahnya. PKI menggerakan Gerwani, NU menggerakkan Muslimat. PKI menjadikan Pemuda Rakyat sebagai pasukan pelopor, NU menjadikan Gerakan Pemuda Ansor sebagai “Banser”, artinya Barisan Serba Guna, sei serbanlaku ujung tombak NU (Nama Banser dari belakang berbunyi serban). Baju seragam Banser hamper menyerupai RPKAD. Bukan itu saja, PKI menggerakkan Barisan Tani Indonesia (BTI) dan NU mengaktifkan Pertanu (Pertanian NU). PKI mempunyai Sobsi, NU menggerakkan Sarbumusi (Sarekat Buruh Muslimin Indonesia). PKI mendirikan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), NU membikin Lesbumi (Lembaga Seni Budayawan Muslimin Indonesia). Dan,…PKI menciptakan “Genjer-genjer” untuk membangkitkan semangat mengganyang siapa saja yang non-PKI, ulama-ulama NU menciptakan Shalawat Badar, shalawat untuk memuji-muji Rasulullah dan para sahabat yang menyertai Nabi besar Saw. Dalam perang Badar sebagaimana diriwayatkan, tatkala Nabi Besar Muhammad Saw. Bersama 313 orang sahabat bertempur dalam Perang Badar melawan kesewenang-wenangan orang-orang Quraisy,….
….Alhasil umat NU menandingi segala kegiatan PKI di semua medan.”[14]
Selaku Menteri Agama KH Saifuddin Zuhri juga memelopori standar penerjemahan Al-Qur’an lewat Lembaga Penerjemah Al-Qur’an. Tujuan penerjemahan tersebut agar umat Islam mengerti isi kandungan kitab sucinya. Dengan memahami kandungan Al-Qur’an maka umat Islam akan bisa membentengi dirinya dari bahaya ateisme yang digelorakan PKI.[15]
Masa-masa itu adalah masa yang masif bagi penerbitan buku-buku kiri. Buku-buku kiri, terutama penerjemahan dari negara-negara komunis banyak beredar di Indonesia dan dengan harga yang tak masuk diakal murahnya.[16] Penerjemahan Al-Qur’an yang dilakukan oleh Kementerian Agama menjadi langkah strategis membendung pengaruh komunis di Indonesia. Bagi KH Saifuddin Zuhri, lebih banyak umat Islam yang memahami Al-Qur’an ketimbang orang komunis yang mengenal ‘kitab suci komunis’ seperti Das Capital, atau Manifesto Komunis. “Orang-orang Komunis pasti tidak bias menemukan unsur “candu” dalam Islam, sebagaimana agama-agama yang secara dogmatis-Marxisme dipandang sebagai “candu” rakyat. Islam adalah “madu” yang sekalipun berupa cairan kental, lengket, mungkin ada yang berwarna kehitam-hitaman, sehingga sepintas menyerupai “candu”, namun Islam obat dan penawar hati, rahmat serta petunjuk bagi umat manusia,” demikian jelas KH Saifuddin Zuhri.[17]
Ketika PKI berusaha untuk menyingkirkan HMI dengan meminta Soekarno membubarkan HMI, KH. Saifuddin Zuhri melakukan aksi pasang badan melindungi HMI. Presiden Soekarno menuturkan rencananya pada KH Saifuddin Zuhri, untuk membubarkan HMI. Soekarno menyebut HMI sebagai anak didik Masyumi yang reaksioner. Namun pendapat ini disanggah oleh KH Saifuddin Zuhri;
“Sulit buat saya selagi masih Menteri Agama ada organisasi Islam yang dibubarkan tanpa alasan kuat.”[18]
Waaah,…tidak saya sangka kalau Saudara membela HMI, ya?” jawab Presiden Soekarno sambil menerawang. Pada akhirnya KH Saifuddin Zuhri menjawab, “Kalau Bapak tetap hendak membubarkan HMI, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan geweten Bapak. Maka tugasku sebagai pembantu Bapak hanya sampai disini,” jawab KH Saifuddin Zuhri dengan tegas.[19]
Presiden Soekarno akhirnya batal membubarkan HMI dan meminta HMI agar menjadi organisasi yang progresif dengan syarat KH Saifuddin Zuhri, AH Nasution, Roeslan Abdulgani dan Syarief Thayeb. Meski demikian, PKI tetap menuntut Presiden Soekarno untuk membubarkan HMI. Termasuk dalam pembukaan Kongres ke-III CGMI di Jakarta, pada tanggal 29 September 1965.
Rapat Umum Menyambut Pembukaan Kongres tersebut menjadi ajang caci-maki untuk HMI. HMI disebut sebagai “Setan perguruan tinggi.”[20]Aidit bahkan dalam sambutannya di Kongres tersebut menyatakan, “…menjinggung masalah tuntutan pembubaran HMI, CGMI harus bias membubarkan HMI, kalau tidak bias maka anggota2 pria CGMI lebih baik memakai kain sadja.”[21]
Menanggapi pernyataan Aidit, Presiden Soekarno menyebutkan bahwa bukan saja HMI, CGMI jika kontra-revolusioner juga akan ia bubarkan.[22] Presiden Soekarno juga menyatakan bahwa setiap partai atau organisasi harus menyingkirkan kelompok gadungan. Presiden Soekarno dengan tegas menyatakan,
“Saja tempo hari sudah mengatakan kepada semua partai, kalau ada gadungan tendang keluar! NU kalau ada antek2 Masjumi tending keluar, Muhammadijah kalau ada elemen2 Masjumi tendang keluar, PNI kalau ada marhaenis2 gadungan tendang keluar, PKI kalau dalam tubuhnja ada soska tendang keluar!”

Pernyataan Aidit tersebut ditanggapi Wakil Perdana Menteri I, Johannes Leimena, yang berpidato setelah Aidit, mengatakan, organisasi apapun yang menyimpang dari revolusi harus dibubarkan. Tolok ukur untuk menilai menyimpang atau bukan adalah tujuan revolusi itu sendiri. Leimena kemudian menyanyakan, apakah benar tujuan HMI bertentangan dengan revolusi? Menurutnya pada saat itu harusnya menggalang persatuan, bukan saling mereduksi untuk mencapai tujuan revolusi itu sendiri.
Sikap terbuka Leimena yang mengadvokasi HMI, meski ia seorang Kristen, didasari keyakinannya bahwa tujuan akhir PKI bukanlah pembubaran HMI, melainkan membubarkan organisasi-organisasi agama.[23]
KH Saifuddin Zuhri sendiri memanfaatkan pernyataan Presiden Soekarno yang mengatakan “Agama unsur mutlak Nation Building.” Bagi KH Saifuddin Zuhri, pernyataan ini memberi jalan eksistensinya di segala bidang dalam rangka nation building.
“Dengan dalil “Agama Unsur Mutlak Nation Building,” kita dapat melawan kiprah PKI di mana-mana. Bahkan kita bias menumpas segala bentuk atheism, baik atheism yang melahirkan komunisme, maupun kapitalisme, liberalisme atau fasisme. Setiap ideologi yang berbahaya tidak bisa dilawan dengan hanya menggunakan kekerasan dan senjata, tetapi harus dihadapi dengan kesadaran beragama.”[24]
Halaman 2 / 4
Di akar rumput, NU berupaya melindungi umat Islam dari aksi ofensif pendukung PKI. Salah satunya lewat Gerakan Pemuda Anshor yang membentuk Barisan Ansor Serbaguna (Banser).
Sebagai organisasi kepemudaan di bawah Nadhlatul Ulama, GP Ansor turut berperan melindungi kepentingan umat Islam pada masa-masa mencekam tersebut. GP Ansor menyebarkan “Doktrin Lima Pertinggi.” Pertama, Pertinggi disiplin organisasi; kedua Pertinggi kewaspadaan; ketiga, Pertinggi kesetiaan terhadap partai; keempat, pertinggi menggunakan taktik dan keuletan dalam berpolitik; kelima, Pertinggi kemampuan fisik dan mental anggota.[25]
Kiprah Banser terutama aktif dalam melindungi kepentingan massa NU dari aksi sepihak BTI baik di Surabaya, Kediri, Sidoarjo dan . Bahkan menurut Haji Yusuf Zakaria, sejak 1961, GP Ansor Jawa Timur mengadakan konsolidasi intensif di bawah Hizbullah Huda. Sejak 1963 hampir seluruh ranting GP Ansor memiliki pasukan drumband dan Banser.[26]
Selain NU, organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah memainkan peran yang tidak frontal dengan kebijakan Presiden Soekarno pada masa itu. Hal ini terkait dengan situasi politik yang mencekam dan di satu sisi Muhammadiyah memiliki kaitan erat dengan Masyumi. Meski Muhammadiyah melepaskan ‘ikatannya’ dengan Masyumi sebagai anggota istimewa pada 8 September 1959 namun tak dapat dipungkiri sikap politik Masyumi adalah sikap politik sebagian besar warga Muhammadiyah.[27] Ekspresi politik pasca putusnya ikatan dengan Masyumi diserahkan pada anggotanya masing-masing. Seperti yang dinyatakan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Kol. Junus Anis,
“Anggota Muhammadijah jang duduk dalam pemerintahan dewan2 perwakilan atau partai politik, adalah atas nama mereka masing2.”[28]
Muhammadiyah sendiri beradaptasi dengan situasi politik dengan mendukung Manifesto Politik dan USDEK-nya dan konsep Nasakom. Ketua PP Muhammadiyah dalam pidato Iftitah Muktamar Muhammadiyah ke-36 tahun 1965, menyatakan Muhammadiyah sebagai alat revolusi dan dukungan terhadap konsepsi Presiden, termasuk Nasakom.
“Kami berpendirian dan berfikiran bahwa solidaritas jang ichlas dan kekompakan Uchuwwah Islamijah jang djudjur dan tulus, antara ormas dan orpol2 Islam, Insja Allah dapatlah kiranja menggalang utuhnja kekuatan2 Progressip Revolusioner berporoskan Nasakom, jang oleh Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Pahlawan Islam dan Kemerdekaan/Panglima Tertingi kita Bung Karno benar2 diharapkan terutama dalam usaha2 meningkatkan konfrontasi kita terhadap nekolim.”[29]

Dukungan terhadap konsep Nasakom ini dapat dianggap sebagai sulitnya posisi ormas Islam pada saat itu. Meski mereka secara resmi membuat pernyataan dukungan terhadap keseluruhan konsepsi Presiden, termasuk Nasakom di dalamnya, namun pada prakteknya di akar rumput yang terjadi adalah sebaliknya. Kelihaian pernyataan-pernyataan seperti ini banyak dimainkan tokoh Muslim dan Ormas Islam pada saat itu. Muhammadiyah pada hasil Muktamarnya ke-36 juga menyatakan,
“Menerima prasaran2 untuk disempurnakan oleh PP Muhammadiyah dalam waktu sesingkat2nja agar tertjacapi suatu konsepsi tentang peranan Islam dalam Pelaksanaan Sosialisme Indonesia, baik Islam sebagai sumber2 adjaran maupun Islam sebagai potensi revolusi.”[30]
K.H. A. Badawi juga berusaha menempatkan peran Agama agar tak terpinggirkan dengan konsep ‘Nation Building’. Sama seperti NU, konsep ‘Nation Building’ ini menjadi senjata bagi kelompok Islam untuk menghadang gerak PKI dan menguatkan eksistensi kelompok Islam.
“ Untuk membentuk manusia baru jang militan, salah satu diantara unsur mutlak jalah agama seperti jang oleh Presiden kita/Panglima Tertinggi Pemimpin Besar Revolusi/Anggota setia Muhammadijah Bung Karno telah dinjatakan bahwa: Agama adalah unsur mutlak dalam pembinaan bangsa.”[31]
Pun demikian Muhammadiyah masih menerima tekanan-tekanan terkait hubungannya dengan Partai Masyumi. Dalam kesempatan yang sama, K.H. A Badawi menyatakan,
“Achir2 ini nampak djelas ada jang sengadja untuk mengaburkan masjarakat terhadap Muhammadijah dan dihubungkan dengan pembubaran partai politik Masjumi. Padahal kalau orang tidak hendak sengadja melupakan usaha2 Muhammadijah dalam ikut serta membina djiwa kemerdekaan Nasional jang telaj 50th ini, tnetulah mereka tahu bahwa Muhammadijah sedjak tahun 1912 berdiri, sedang Masjumi barulah mulai tahun 1945 didirikan.”[32]
Seperti halnya NU, peran Muhammadiyah yang tidak konfrontatif dengan Presiden Soekarno membuat mereka di satu sisi terpaksa mengikuti irama politik saat itu termasuk tidak menolak terang-terangan konsep Nasakom. Tokoh-tokohnya pun ikut serta dalam pemerintahan seperti Muljadi Djojomartono (Menteri Koordinator) dan KH Farid Ma’ruf (Menteri urusan Haji).
Koreksi-koreksi terhadap kebijakan Soekarno dilakukan dengan pendekatan pribadi para tokohnya. Jika di NU, K.H. Saifuddin Zuhri dan K.H. Wahab Hasbullah memainkan peran ini, maka di Muhammadiyah, K.H. A. Badawi yang berperan. K.H. A. Badawi mengambil resiko dengan menerima jabatan anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang memang berfungsi sebagai pemberi masukan pada Presiden. ). Djarnawi Hadikusuma, seorang tokoh Muhammadiyah, mengisahkan betapa K.H. A. Badawi berulangkali menasehati Soekarno.
“Maka dalam mendjalankan tugas meng-aproach kepada Presiden Sukarno pada waktu itu , ternjata K.H.A. Badawi sangat success dengan tjara jang chas, jaitu tidak mendjilat dan tidak mendjadi anteknja Bung Karno, tetapi dengan djalan kerap kali bersilaturahmi, memberi nasehat dan menegor kesalahannja Bung Karno jang perlu ditegor dengan gaja dan nada sebagai seorang kiai kepada seorang Islam biasa.”[33]
Menghadapi tekanan-tekanan sosial dan politik yang begitu keras dan semakin mendidih, umat Islam akhirnya bersepakat. Pada tanggal 12 Maret 1965, NU bersama Muhammadiyah, Gasbiindo serta Syarekat Islam mengeluarkan pernyataan sebagai berikut:
“Menegaskan bahwa setiap perongrongan terhadap segolongan atau sebagain Ummat Islam, dianggap sebagai perongrongan terhadap Ummat Islam secara keseluruhan dan karenanya harus dihadapi secara konsekuen dengan persatuan Islam yang bulat.”[34]
Situasi demikian sulitlah yang harus dimainkan oleh kelompok Islam dalam upayanya membendung pengaruh PKI. Namun, perlahan tapi pasti PKI juga semakin membuka jalannya menuju kekuasaan. Meski PKI belum juga masuk kabinet hingga 1965, namun Aidit memperoleh jabatan prestisius sebagai Wakil Ketua MPRS yang setaraf dengan Menteri, meski tanpa portfolio. Digesernya A.H. Nasution dari Panglima Angkatan Darat menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata yang administratif membuat kekuasaan kekuasaan di kubu Angkatan Darat berubah. Ahmad Yani, meski dikenal anti-komunis namun ia bukanlah oposisi bagi Soekarno.[35]
Halaman 3 / 4
Di lain sisi PKI melakukan penetrasi ke dalam militer, khususnya Angkatan Darat. Divisi Diponegoro dan Brawijaya mulai diinfiltrasi oleh Biro Khusus PKI di bawah Sjam Kamaruzzaman.[36] Dukungan lebih mudah diperoleh PKI di Angkatan Udara, dan beberapa sekutu potensial di Angkatan laut dan Kepolisian ketimbang di Angkatan Darat. Memperoleh dukungan dari Angkatan Darat adalah sebuah keharusan jika PKI menghendaki berkurangnya perlawanan dari kubu anti-komunis.
Aidit mencari kesamaan antara basis perjuangan mereka dengan Angkatan Darat. Ia menyebutkan bahwa para tentara Indonesia adalah kaum tani bersenjata. dalam ceramahnya di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SESKOAD) pada 29 Juni1963, ia menjelaskan,
“Kaum tani mendjadi kekuatan pokok revolusi oleh karena mereka meliputi majoritet jang terbesar sekali dari Rakjat dan jang tertindas oleh sisa2 feodalisme. Oleh karenanja, hakekat daripada Revolusi kita pada tahap sekarang ini adalah revolusi agraria jang bertudjuan membebaskan kaum tani dari penghisapan feodal. Dengan demikian mendjadi djelas pula hakekat daripada tentara kita, jaitu kaum tani bersendjata, mereka adalah anak kaum tani atau masih ada hubungan keluarga jang dekat dengan kaum tani.”[37]
Pendekatan PKI kepada kalangan angkatan bersenjata menjadi bagian dari penerapan Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP), yaitu,
”…bekerdja baik dikalangan tani di-desa2, di kalangan kaum buruh di-kota2, terutama buruh transport dan mempererat hubungan angkatan bersendjata dengan Rakjat agar anak2 kaum buruh dan tani jang bersendjata ini tidak bisa digunakan oleh kaum reaksioner untuk memusuhi Rakjat.”[38]
Bagian lain dari pendekatan (atau bisa dikatakankan penaklukan) kepada Angkatan Darat adalah dengan melakukan Nasakomisasi berbagai lembaga termasuk angkatan bersenjata. Angkatan Udara (AURI) di bawah Panglima Tertinggi Angkatan Udara (Menpangau) Omrar Dani mendukung usul Aidit. Ia bahkan mengumumnkan bahwa Marxisme akan diajarkan kepada staff angkatan udara dan di sekolah komando angkatan udara.[39]
Upaya lain untuk juga dilakukan lewat infiltrasi dalam tubuh angkatan darat melalui Biro Chusus yang dipimpin Sjam Kamaruzzaman. Infiltrasi ini memang dilakukan dalam sunyi dan bahkan tak diketahui oleh Central Comitee (CC) PKI. Biro Chusus adalah sebuah lembaga yang bersifat rahasia dan klandestin.
Kebanyakan anggota PKI tak mengetahui keberadaan badan yang telah ada sejak 1950-an ini. Biro Chusus bahkan sudah menjalin hubungan dengan kalangan militer sebelum dipimpin oleh Sjam Kamaruzzaman dan memiliki perwakilannya di daerah. Hubungan ini dijalin dengan kalangan militer yang bersimpati dengan PKI sejak mereka masih tergabung dalam laskar hingga masuk ke tentara reguler.[40]
Dari berbagai upaya menjinakkan dan mengimbangi Angkatan Darat, tak ada yang lebih mencengangkan publik dan elit ketimbang upaya PKI pada Januari 1965 yang mengusulkan dibentuknya Angkatan Bersenjata Kelima setelah AD, AL, AU dan Kepolisan. Angkatan Bersenjata kelima ini untuk mengkahiri monopoli penguasaan senjata oleh tentara. PKI mengusulkan agar buruh dan tani dipersenjatai dan diberikan latihan militer. Menurut Aidit setidaknya ada 10 juta tani dan 5 juta buruh siap dipersenjatai.[41] Belakangan Soekarno menyebutkan bahwa ide mempersenjatai tani dan buruh awalnya diusulkan oleh Perdana Menteri Cina, Chou En-Lai saat bertemu dengan dirinya.[42]
Bagi RRC, angkatan kelima sangat penting untuk menjaga keseimbangan kekuatan dengan Barat di Asia Tenggara. Pada akhir Januari, Chou En-Lai bertemu oleh Soebandrio di Cina. Momen itu dimanfaatkannya untuk membujuk Soebandrio mendukung Angkatan Kelima.[43] Cina bahkan menawarkan senjata ringan untuk mempersenjatai Angkatan Kelima.Pada bulan Juni, Indonesia mengirimkan delegasi dari Relawan Indonesia untuk mempelajari urusan milisi di Cina, Korea Utara di Vietnam.[44]
Bagi PKI Angkatan Kelima adalah sesuatu yang mereka nanti-nantikan. PKI hingga saat itu belum memiliki milisi. Perbepsi yang pernah diharapkan menjadi cikal bakal pasukan paramiliter tak berhasil dijalankan setelah Angkatan Darat mengambil alih kelompok veteran dan meleburnya dalam kendali mereka.[45] Maka ide Angkatan Kelima bukan saja mewujudkan kembali harapan tersebut, tetapi juga dapat menjadi penantang hegemoni Angkatan Darat.
Tanpa menunggu keputusan pemerintah, sebanyak dua ribu orang mulai dilatih PKI di seputar Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.[46] Mereka adalah kelompok-kelompok underbouw PKI seperti Gerwani dan Pemuda Rakjat yang ditempa dengan latihan-latihan militer.[47] Di saat yang berdekatan Angkatan Udara mulai mendekati pemerintah Cina untuk meminta persenjataan bagi mereka. AU beralasan senjata itu dipakai untuk mempersenjatai rakyat di seputar Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.[48]
Usul Angkatan Kelima dengan dukungan Soekarno ini kemudian menggelinding menjadi lebih besar, didorong oleh pendukung PKI di Front Nasional dan PWI. Angkatan Kelima menjadi tekanan bagi Ahmad Yani selaku Panglima Tertinggi Angkatan Darat. Sulit baginya menolak desakan Soekarno di satu sisi. Di lain sisi, ia juga enggan memberi PKI ruang yang lebih leluasa lewat Angkatan Kelima.[49]
Angkatan Darat menjadi sasaran tembak PKI, khususnya sejak Januari 1965. Aidit dalam pernyataan di awal Januari 1965 menyerukan untuk menghancurkan “Kapitalis Birokrat.” Sebuah seruan yang mengadopsi Partai Komunis Cina yang secara luas dipahami bagi segala macam aparatur negara yang terlibat dalam pemborosan ekonomi, malpraktek dan korupsi. Tetapi jelas, istilah ini lebih ditujukan pada para elit Angkatan Darat.
Massa PKI terus menghujat para tertuduh ‘Kabir.’ Tanggal 25 September 1965 misalnya, massa pemuda Rakjat berpawai meminta koruptor disingkirkan. Hari yang sama, Pemuda Komunis di Semarang meminta koruptor ditembak didepan publik. Begitu juga Sadjarwo. Pada 27 September ia mengatakan sudah waktunya melikwidasi para subversive. Kalau perlu para pemimpin mereka ditembak.[50]
Tekanan juga datang dari Soekarno yang pada pidato Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1965 menyatakan kemuakannya pada militer yang tidak progresif. Tak ayal tudingan tersebut ditujukan (bila tidak satu-satunya) kepada para elit Angkatan Darat. Berada terus menerus dalam tekanan, Ahmad Yani pun menunjukkan posisinya. Pada 27 Juli1965 ia menunjukkan sikapnya menolak Angkatan Kelima dan Nasakomisasi Angkatan Darat. Sebuah pertunjukan terang-terangan pertentangan terhadap Soekarno dan PKI.[51]
Pernyataan Yani memperkuat sikap sebagian elit Angkatan Darat yang menunjukkan sikap anti-yang sebelumnya sudah ditunjukkan Ibrahim Adjie , Komandan Divisi Siliwangi. Kepada jurnalis AS di bulan Maret 1965, Adji mengatakan bahwa pihaknya telah mengalahkan komunis di Madiun. Dan pihaknya akan terus mengawasi kelompok komunis.
Letjen A. Yani memang semakin menunjukkan sikap kritisnya pada Presiden Soekarno. Sebuah ‘manuver’ dilakukan elit Angkatan Darat ketika mereka menulis surat sebuah ‘mosi tidak percaya’ kepada kabinet Presiden Soekarno. A. Yani dan M.T. Haryono adalah diantara elit angkatan Darat yang berada dibalik ‘mosi’ tersebut. Salah satu isi surat menyatakan bahwa Presidium dan kabinet telah membuktikan tidak mampu lagi memerintah “seperti yang dimaklumi oleh Bapak.”[52]
Sikap penentangan elit Angkatan Darat terhadap kemauan Soekarno dan ambisi PKI bisa jadi salah satu peristiwa penentu diantara situasi yang sudah mendidih dan dipenuhi kabut rumor yang mengelilingi elit politik. Pada Mei 1965 sekelompok massa dari Pemuda Rakyat menyerbu villa Bill Palmer, distributor film Amerika di Puncak, Bogor, Jawa Barat. Bill Palmer dituduh sebagai agen CIA. Di villa tersebut pula para pemuda menemukan dokumen yang memmuat telegram rahasia Sir Andrew Gilchrist kepada pemerintahnya tentang kemungkinan kerjasama antara Inggris dan Angkatan Darat, yang disebut sebagi “Our local Army friends,” dan berniat menggulingkan Presiden Soekarno. Dokumen inilah yang kemudian disebut ‘Dokumen Gilchrist.’ Dokumen itu bocor ketika hubungan Indonesia dengan Inggris sedang menegang akibat konfrontasi Indonesia – Malaysia soal Borneo. Inggris saat itu membantu Malaysia mengirim pasukan ke Borneo untuk menjaga kawasan perminyakan.[53]
Dokumen ini segera menilmbulkan kegemparan di elit politik. Menurut Soebandrio, Kepala Badan Pusat Intelejen (BPI), dokumen tersebut diterima dirinya tanpa jelas pengirimnya. Soebandrio kemudian melaporkan dokumen tersebut kepada Presiden Soekarno. Ahmad Yani sendiri ketika ditanyakan oleh Soebandrio seputar tuduhan dalam dokumen itu, menyangkal kebenarannya. Menurutnya yang ada dalam Angkatan Darat hanya dewan yang bertugas merancang kepangkatan di Angkatan Bersenjata.[54]
Bagi PKI munculnya dokumen ini seperti berkah yang membuktikan kecurigaan mereka akan tindak tanduk elit Angkatan Darat. Tak sedikit yang percaya akan kebenaran dokument tersebut pada saat itu. Namun ternyata dokumen tersebut adalah bagian dari rekayasa intelejen Cekoslovakia. Mereka menyebutnya Operasi Palmer, merujuk pada nama Bill Palmer, Ketua American Motion Picture Ascociation in Indonesia (AMPAI).
“…pada permulaaannya merupakan salah satu dari sejumlah provokasi anti-Amerika. Setelah tahap pertaa berhasil, dinas intelejen Sovyet menyertai usaha itu; bersama-sama kami menyebarkan benih kebencian terhadap Amerika di bumi Indonesia yang subur itu, memupuknya hingga taraf yang histeris, sehingga mengancam hubungan diplomatik Indonesia- Amerika dengan kehancuran. Kami sendiri terperanjat melihat provokasi itu berkembang secara luar biasa dan mengerikan.”[55]
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook