Senin 28 Sep 2020 10:06 WIB
PKI

Umat Islam, PKI, Militer: Babak Akhir Jelang September 1965

Pertarungan di babak akhir jelang GSO S PKI antara PKI, Umat Islam, dan miiliter

Massa berunjuk rasa di kantor CC PKI yang terletak di Jl Kramat Raya Jakarta atau persis berada di sebarang kantor PBNU, pasca meletusnya peristwa G30S/PKI..
Foto:

Berita-berita bohong yang dipasok intelejen Ceko mengenai Palmer yang dituduh sebagai agen CIA kemudian merebak dimana-mana. Menghasilkan efek yang luar biasa. 

Permainan intelejen kembali ditelurkan tatkala mereka membuat dokumen palsu yang seakan-akan berasal dari Kementerian Luar Negeri Inggris. Dokumen palsu ini kemudian dikenal sebagai ‘Dokumen Gilchrist.’ Sebuah dokumen yang dibuat seakan-akan dari Duta Besar Inggris di Indonesia, Gilchrist kepada Kementerian Luar Negeri Inggris yang bertanggal 24 Maret 1965. Umpan dokumen palsu ini kemudian ‘dilahap ‘ oleh Dr. Soebandrio dari BPI dan kemudian Presiden Soekarno.[56] Meski telah disangkal oleh pemerintah Inggris dan Amerika, namun khalayak di tanah air lebih memilih untuk mempercayainya termasuk Harian Rakjat. 

Rumor dari ‘Dokumen Gilchrist’ tersebut terus menggelindingkan isu tentang adanya Dewan Jenderal yang bekerja sama dengan pemerintah Inggris untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Ahmad Yani sendiri sudah menolak adanya isu Dewan Jenderal tersebut dengan mengatakan bahwa yang ada hanyalah ‘Wandjakti’ atau semacam dewan penilaian dalam kepangkatan. [57] Namun isu Dewan Jenderal terus menghantui situasi politik saat itu. Jelas bahwa Dr. Soebandrio yang bertanggung jawab menyuburkan isu ini dengan dilahapnya ‘Dokumen Gilchrist’ mentah-mentah yang ditelurkan intelejen komunis asing.

Presiden Soekarno tampaknya semakin menekan elit Angkatan Darat. Pada Kongres ke-III CGMI, 29 September 1965, ia menyindir,

“Dulu, ada orang jang revolusioner, tapi sekarang ia mendjadi kontrarevolusioner. Dan seperti dinjatakan dalam Takari ada pula jang dulunja mendjadi jenderal petak tapi sekarang mereka mendjadi pelindung elemen kontra-revolusi. Mereka ini harus kita ganjang.”[58]

Kabut rumor yang mengeliliingi elit politik dalam situasi yang sudah mendidih tak ayal menimbulkan kecemasan di kalangan rakyat. Situasi sudah saling curiga-mencurigai. Para pendukung PKI sudah dididhkan mencapai titik didihnya. Setiap hari agitasi dan provokasi ditujukan seakan masa eksekusi para lawan politik akan terjadi. 

Rumor juga beredar dikalangan wartawan. Joesoef Isak, Ketua Persatuan Wartawan Asia-Afrika mendapat informasi dari beebrapa anggota Comite Central PKI, salah satunya Nursuhud, bahwa pada Agustus dan September akan terjadi suatu aksi massa menentang ‘Kapitalis birokrat’ dan ‘kaum kontra-revolusioner.’ 

“Saya diberi tahu bahwa sebentar lagi seluruh situasi akan berubah. Saya mengerti itu artinya akan terjadi suatu gerakan hebat. Akan ada pukulan terakhir. Saya tetap menganggu partai (maksudnya pemberi informasi, Nursuhud), dengan menanyakannya,“Kapan? Kamu bilang sebentar lagi.” Baiklah satu minggu sudah liwat, satu bulan, masih tidak terjadi apa-apa. Saya tetap mencari-cari partai, menanyakan kapan. Para sekretaris luar negeri (PWAA) terus-menerus bertanya pada saya kapan akan terjadi.

Partai mengatakan pada saya, “Kita akan melancarkan aksi-aksi revolusioner sepenuhnya sampai mencapai puncak. Kita akan menghabisi kaum kapitalis birokrat dan kaum kontra-revolusioner.” Saya bertanya, “Bagaimana cara kamu akan melakukannya?” “Turun ke jalan-jalan,” begitulah cerita yang disampaikan pada saya. “Turun ke jalan-jalan. Kita akan pergi langsung masuk ke kantor-kantor para menteri, para dirjen departemen-departemen pemerintah, dan menangkap mereka. Kita akan mengambil Wakil Perdana Menteri III, Chairul Saleh, dan melemparnya ke kali Ciliwung.”[59]

Puncaknya pada 29 September 1965, Anwar Sanusi, anggota Politbiro PKI dalam penutupan Latihan Sukwan Bantuan Tempur BNI, mengatakan “Kita sekarang berada dalam situasi di mana Ibu Pertiwi sedang dalam keadaan hamil tua. Sang Paraji, Sang Bidan sudah siap dengan segala alat yang diperlukan untuk menyelamatkan kelahiran Sang Bayi yang lama dinanti-nanti itu. Sang Bayi akan lahir dari kandungan Ibu Pertiwi itu adalah suatu kekuasaan politik yang sudah ditentukan dalam Manipol, yaitu kekuasaan gotong royong yang berporoskan Nasakom, bersoko-guru buruh dan tani.”[60]

Turun-turun ke jalan, melakukan aksi-aksi demonstrasi, memang sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Aksi unjuk kekuatan merupakan bagian dari mobilisasi massa yang lumrah. Pada hari peringatan ulang tahun PKI yang ke-45, 23 Mei 1965 dirayakan secara besar-besaran. Massa pendukung PKI melakukan long march dari Surabaya ke Jakarta. 

Di Jakarta, perayaan dilakukan besar-besaran. “Tamu-tamu berdatangan dari negara komuis; RRC, Albania, Korea, Vietnam, dan juga dari Partai Komunis Uni Soviet. Jakarta dipenuhi poster-poster raksasa, spanduk, dan patung tokoh-tokoh komunis. Gambar Presiden Sukarno dipajang sama besarnya dengan gambar DN Aidit, Lenin, dan Karl Marx di sejumlah jalan utama Ibu Kota. Ribuan bendera Palu Arit dipasang sampai ke pelosok kampung. Sekitar 105 ribu orang memenuhi komplek olahraga Senayan. Pawai Gerwani, drum band, penyanyi meramaikan peristiwa terebut. Angkatan Udara menjatuhkan selebaran. Yang bertanda tangan Aidit dapat menukarkan dengan hadiah.Jakarta praktis sudah berubah wajah, seolah-olah sudah menjadi ibu kota negara komunis.[61]

Di Stadion Utama Gelanggang Olahraga Bung Karno, Presiden Soekarno berpidato depan khalayak. Ia berkata,

“Nah didalam hal ini, didalam segala politik Republik Indonesia, ja bagian “Malaysia”, ja bagian berdikarinja ekonomi, ia bagian berdaulatnja politik. Ia bagian berkepribadiannja kebudajaan, selalu PKI adalah berdiri dibarsan jang paling depan daripada barisan Indonesia ini. Karena itupun saja tanpa tedeng aling2, jo PKI kene dulurku, kene dulurku, jo sanak jo kadang jen mati aku sing kelangan. Memang demikian Saudara2. Manakala saja didalam Kongres jang ke-VII daripada PKI berkata : PKI “go ahead”! Berdjalanlah terus, artinja go ahead. Sekarang pun saja berkata PKI, go ahead ! PKI, madju, onward, onward, never retreat !” – Soekarno, Mei 1965 dalam Ulang Tahun 45 Tahun PKI.[62]

Situasi kala itu memang dirasakan bahwa PKI sedang diatas angin. Merayakan 45 tahun partainya di bulan Mei 1965, Aidit menekankan bahwa situasi revolusioner yang dirasakan di Indonesia saat itu tak lain karena aksi-aksi ofensif-revolusioner dari semua kekuatan revolusioner. 

“Ofensif berarti sukses dan menang, defensif berarti gagal dan kalah.

Situasi revolusioner ini menuntut kaum revolusioner terus memperhebat ofensif revolusioner disegala bidang dengan setiap hari berusaha mengantongi kemenangan untuk achirnja merampungkan revolusi nasional-demokrasi sepenuhnja.”[63]

Bayang-bayang akan terjadinya pemberontakan Madiun kedua didepan mata. Hal ini menjadi sangat wajar, karena baru 19 tahun yang lalu pemberontakan Madiun yang mengerikan itu terjadi. Dan sebagain besar dari orang-orang pada masa itu, mengalami pemberontakan yang mengerikan itu. Penyair Iwan Simatupang dalam karyanya tanggal 4 Februari 1965, melukiskan akan bayangan suram itu,

“Aidit boleh seribu kali membantah,

tapi rakyat dan ABRI kita makin teringat Madiun.

Dan Aidit secara seratus prosen sudah pula menggertak.

Bila di tahun 1948 PKI dengan anggota Cuma 100.000

bias bikin korban begitu banyak, bagaimana dengan PKI sekarang

yang sudah punya anggota tiga juta (resmi)?

Secara aljabar kelas 1 SMP tentu seramnya lebih tiga puluh kali;

darah kering di gedung-gedung pembantaian

(yang mungkin nanti bakal mereka sebut Marx House)

tebalnya tiga puluh kali dari darah kering

yang ditemukan di ubin Marx House Madiun.[64]

Situasi bukan hanya mencekam, tetapi juga amat sulit. Perekonomian terus memburuk terutama sejak 1963, ketika banyak pengeluaran ditujukan untuk kampanye ‘Ganyang Malaysia.’ Di pasar gelap, nilai rupiah terhadap dollar terjun dari Rp. 3000 di bulan September 1964 menjadi Rp. 8000 di bulan Desember 1964. Harga komoditas (kecuali beras) naik dua kali lipat di bulan Oktober-November. Pada awal 1965, panen berhasil melonggarkan sedikit kesulitan, tetapi kemudian harga-harga terus naik. Pemerintah tak berdaya membendungnya kecuali dengan kecaman akan menembak mati para penyabotase ekonomi.[65]

Sejarawan Ong Hok Ham mengisahkan kesulitan yang mendera pada saat itu. “Saya pernah melihat orang-orang dari desa pingsan karena kurang makan di depan mata sendiri di depan rumah teman, Nugroho Notosusanto.” Demikian kenang Ong Hok Ham.[66]

Situasi politk yang mencekam, dan rumor akan aksi-aksi para elit, membuat Indonesia semakin tidak stabil. Jika rumor akan adanya Dewan Jenderal atau adanya aksi Madiun kedua masih samar, satu hal yang pasti mengubah keadaan adalah jatuh sakitnya Presiden Soekarno. 

Pada 4 Agustus 1965, di Istana Merdeka, Presiden Soekarno menderita sakit kepala dan kesulitan berbicara yang diduga stroke ringan. Kondisinya perlahan pulih. Namun berita sakitnya presiden ini menyebar begitu cepat dan liar. Rumor dan spekulasi menjadi tak terkendali. Dua anggota PKI, Aidit dan Njoto yang sedang berada di luar negeri segera kembali ke Indonesia. Dua dokter kepresidenan menyatakan ia menderita gangguan aliran darah ke otak. Tanggal 7 Agustus 1965, Aidit tiba di Jakarta dan ke Istana bersama tim medis dari Cina.[67] Harian Rakjat memberitakan bahwa Aidit pulang mendadak karena dipanggil oleh Presiden.[68]

Semua pemeriksaan menyatakan Presiden Soekarno kondisinya tidak dalam keadaan berbahaya. Presiden Soekarno pun segera membuktikan dirinya tetap bugar dengan berpidato di perayaan 17 Agustus 1965. Meski demikian, kekalutan segera melanda elit politik di seputar Istana. Bagaimana jika Soekarno meninggal? Pertarungan dua kekuatan,  PKI dan Angkatan Darat yang selama ini dijaga Soekarno akan kehilangan penyeimbangnya. Situasi segera menjadi kritis, bayangan benturan tak terhindarkan.

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Tulisan ini diambil dari salah satu bab dalam Buku “Dari Kata Menjadi Senjata: Konfrontasi Umat Islam dengan Partai Komunis Indonesia” (2017) kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU)


[1] Karno, Bung. 1965. Subur, Subur, Suburlah PKI. Jakarta: Jajasan Pembaruan.

[2] Hindley, Donald. 1962. President Soekarno and The Communists: The Politics of Domestication. American Political Science Review, Vol. 56, No. 4 (December 1962).

[3] Hindley, Donald. 1962. President Soekarno and The Communists: The Politics of Domestication.

[4] Soekarno. 1965. Tahun Vivere Pericloso (Tavip) dalam Di bawah Bendera Revolusi Jilid 2. Jakarta: Panitya Dibawah Bendera Revolusi.

[5] Farram, Steven. 2014. Ganyang! Indonesian Popular Songs From The Confrontation Era 1963-1966. Bijdragen Tot de Taal -, Land en Volkenkunde 170 (2014).

[6] Subandrio. Tanpa tahun. Teman Jang Djadi Kontra-Revolusioner Terpaksa Kita Tinggalkan. Jakarta: Departemen Penerangan R.I

[7] Aidit, D.N. 1963. Hajo! Ringkus dan Ganjang Kontra-Revolusi. Jakarta: Jajasan Pembaruan.

[8] PKI. 1965. Gerakan Beladjar dan Pelaksanaan Keputusan2 Pleno ke-IV CC PKI. Dokumen Instruksi CC PKI, Juni 1965 dalam Inventaris Arsip KOTI 1963-1967, Arsip Nasional Republik Indonesia. 

[9] Harian Rakjat, 17 Agustus 1965.

[10] Mortimer, Rex. 2011. Indonesian Communism Under Soekarno: Ideology and Politics, 1959-1965. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

[11] Zuhri, KH. Saifuddin. 2013. Berangkat dari Pesantren. Yogyakarta. LKiS

[12] Mortimer, Rex. 2011.

[13] Widiyanto, Paulus. 1991. Osa Maliki dan Tragedi PNI. Konflik Intern Pra dan Pasca 1965 dalam Diatas Panggung Sejarah, Dari Sultan ke Ali Moertopo. Prisma, Edisi Khusus 20 tahun Prisma.

[14] Zuhri, KH. Saifuddin. 2013. 

[15] Zuhri, KH. Saifuddin. 2013.

[16] Lihat Ismail, Taufiq dan D.S. Moeljanto. 1995. Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. Bandung: Mizan dan Liem, Maya H.T.2012. A bridge to The Outside World. Literary Translation in Indonesia. 1950-1965. dalam Heirs To World Culture. Being Indonesian 1950-1965. Leiden: KITLV Press. 

[17] Zuhri, KH. Saifuddin. 2013.

[18] Zuhri, KH. Saifuddin. 2013.

[19] Zuhri, KH. Saifuddin. 2013.

[20] Harian Rakjat, 30 September 1965.

[21] Warta Bhakti, 30 September 1965.

[22] Saidi, Ridwan. 2006. Lakon Politik “Che Guevara Melayu” : Dokumentasi Teror PKI 1955-1960. Jakarta: Institute for Policy Studies (IPS) dan Dake, Antonie C.A. 2006. The Sukarno File. Chronology of a Defeat. Leiden: Koninklijke Brill NV.

[23] Saidi, Ridwan. 2006.

[24] Zuhri, KH. Saifuddin. 2013.

[25] Anam, Choirul. 1990. Gerak Langkah Pemuda Ansor: Sebuah Percikan Sejarah Kelahiran.  Majalah Nadhlatul Ulama Aula. 

[26] Anam, Choirul. 1990.

[27] Syaifullah. 1997. Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

[28] Anis, K.H.M. Junus. 1960. Muhammadijah Tidak Mau Kerdjasama dengan Setan dalam Almanak Muhammadijah 1960/1961. Jakarta: Pusat Pimpinan Muhammadijah Madjelis Taman Pustaka.

[29] Putusan dan Kesimpulan Muktamar Muhammadijah ke-36. Suara Muhammdijah No. 4 Tahun 37, September 1965.

[30] Putusan dan Kesimpulan Muktamar Muhammadijah ke-36. Suara Muhammdijah No. 3 Tahun 37, Agustus 1965.

[31] Suara Muhammadijah  No. 3 th 37, Agustus 1965

[32] Suara Muhammadijah  No. 3 th 37, Agustus 1965.

[33] Anis, H.M. Junus. 1971. Riwayat Hidup K.H. A. Badawi. Yogyakarta: Gabungan Koperasi Batik Indonesia.

[34] Anam, Choirul. 2010. Pertumbuhan dan Perkembangan Nadhlatul Ulama.: Duta Aksara Mulia.

[35] Sundhaussen, Ulf. 1988. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi Abri.Jakarta: LP3ES 

[36] Ricklefs, M. C.  2001. History of Modern Indonesia Since 1200.C. London: Palgrave.

[37] Aidit, D.N. 1963. PKI dan Angkatan Darat (SESKOAD). Jakarta: Jajasan Pembaruan.

[38] Aidit, D.N. 1964. Kibarkan Tinggi Pandji Revolusi. Jakarta: Jajasan Pembaruan.

[39] Sundhaussen, Ulf. 1988.

[40] Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massa. Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto. Jakarta: Hasta Mitra dan Institut Sejarah Sosial Indonesia.

[41] Crouch, Harold. 1986. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.

[42] Mortimer, Rex. 2011.

[43] Zhou, Taomo. 2014. China and The Thirtieth September Movement. Indonesia, No. 98 (October 2014)

[44] Zhou, Taomo. 2014.

[45] Brackman, Arnold. 1969. The Communist Collapse in Indonesia. Singapore: Asia Pacific Press. 

[46] Bandingkan dengan kesaksian Njono di pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa. G-30-S Dihadapan Mahmilub Jilid I (Perkara Njono). Jakarta: Pusat Pendidikan Kehakiman A.D.

[47] Brackman, Arnold. 1969.

[48] Zhou, Taomo. 2014.

[49] Mortimer, Rex. 2011.

[50] Brackman, Arnold. 1969.

[51] Dake, Antonie C.A. 2006. 

[52] Anwar, H. Rosihan. 2006. Soekarno – Tentara – PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

[53] Soebandrio. 2006. Yang Saya Alami Peristiwa G 30 S (Sebelum, Saat Meletus dan Sesudahnya. Jakarta: Bumi Intitama Sejahtera.

[54] Soebandrio. 2006.

[55] Bittman, Ladislav. 1973. Permainan Curang (The Deception Game). Jakarta: PT TJandramerta.

[56] Bittman, Ladislav. 1973.

[57] Dake, Antonie C.A. 2006.

[58] Harian Rakjat, 30 September 1965.

[59] Roosa, John. 2008.

[60] Anwar, H. Rosihan. 2006.

[61] Brackman, Arnold. 1969.

[62] Karno, Bung. 1965.

[63] PKI. 1965. Tesis 45 Tahun PKI. Jakarta: Jajasan Pembaruan.

[64] Simatupang, Iwan. 2013. Kapan Persisnya PKI akan Rebut Kekuasaan? dalam Tragedi G-30-S 1965 dalam Bayang-Bayang Bung Karno Sang Peragu. Bogor: Insan Merdeka.

[65] Mackie, J.A.C. 1967. Problems of The Indonesian Inflation. Modern Indonesia Project, Monograph Series. Cornell University, New York.

[66] Ham, Ong Hok. 2000. Refleksi Tentang Peristiwa G-30-S (Gestok) 1965 dan Akibat-Akibatnya dalam Memandang Tragedi Nasional 1965 Secara jernih. Sejarah, Vol. 9 (2000).

[67] Zhou, Taomo. 2014. 

[68] Harian Rakjat 9 Agustus 1965.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement