REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama (Kemenag) RI mengimbau seluruh pesantren di Indonesia agar tidak takut melaporkan kasus dugaan pungutan liar (pungli) dana bantuan operasional pesantren (BOP). Direktur Jenderal Pendidikan Islam Muhammad Ali Ramdhani mengatakan, pihaknya akan menjamin kerahasiaan identitas pelapor.
Adapun laporan pengaduan bisa disampaikan melalui situs simwas.kemenag.go.id dengan menyertakan bukti-bukti yang kuat.
Ali Ramdhani menjelaskan, sejauh ini pihaknya sudah menerima informasi tentang adanya dugaan pungli BOP di berbagai daerah. Ia mengkhawatirkan bila ada pesantren penerima BOP yang ditarik pungli justru takut melapor.
"Persoalannya, pesantren bisa jadi takut untuk melapor. Kami mengimbau agar tidak takut, tidak akan ada sanksi atau sampai tidak akan mendapat bantuan. Kami jamin kerahasiannya," kata Muhammad Ali Ramdhani saat dihubungi Republika, Senin (21/9).
Pihaknya dengan tegas melarang siapapun untuk melakukan pemotongan atau pungli atas BOP. Sebab, sudah ada petunjuk teknis (juknis) terkait prosedur penyaluran BOP. Juknis tersebut sama sekali tidak mengatur masalah pemotongan, baik dalam bentuk uang maupun pembelian barang. Ia menegaskan, proses penyaluran bantuan harus selalu berpedoman pada juknis.
"Sampai hari ini, tim investigasi kami masih melakukan peninjauan. Itjen membentuk tim saber pungli. Tindakan preventif terus kami lakukan melalui beberapa jaringan, termasuk menggerakkan instrumen yang lain," kata dia.
Sebelumnya, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag Waryono mengatakan, pihak yang diduga melakukan pungli atas BOP mengatasnamakan sebuah organisasi pesantren atau asosiasi madrasah diniyah. Dalam menjalankan aksinya, para terduga menggunakan istilah “iuran.”
“Jadi, bahasa yang masuk ke saya itu, kan organisasi butuh hidup. Untuk hidup itu kan butuh kebersamaan. Untuk kebersamaan itulah, maka kemudian sekarang ini kita dapat bantuan (BOP), di mana ada ‘iuran,’” ujar Waryono saat dihubungi Republika, Ahad (20/9).
Pihak yang menagih “iuran” itu, lanjut dia, mengeklaim berjasa atas turunnya BOP kepada pesantren sasarannya. Ada pesantren yang menolak pemotongan ilegal tersebut. Namun, ada pula yang bersedia memberi dengan alasan “iuran” tidak begitu besar.
“Ada pesantren yang, dalam bahasa yang kami terima itu, (mengatakan) ‘kami terima, wong dipotongnya juga bagian dari terima kasih.’ Mereka yang tidak terima dengan (pemotongan) itu yang potongannya besar. Yang menolak itulah yang laporan,” kata dia.
Hingga Ahad (20/9) lalu, Waryono mengatakan, ada tiga pesantren yang telah melapor terkait dana BOP yang disunat. Ketiganya berlokasi masing-masing di Bogor (Jawa Tengah), Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta), dan Madura (Jawa Timur).
Menurut dia, pesantren-pesantren yang menolak pemotongan BOP itu termasuk kategori pesantren kecil karena memiliki kurang dari 500 orang santri. Setiap mereka berhak menerima bantuan sebesar Rp 25 juta yang disalurkan langsung oleh Kemenag.Setelah menerima laporan tersebut, pihaknya melakukan evaluasi dan koordinasi dengan Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenag. Ia memastikan, pemerintah terus berupaya untuk menutup peluang terjadinya pungli.
Hingga akhir pekan lalu, pencairan BOP tahap pertama hampir selesai. Total bantuan tahap itu sebesar Rp 930.835.000.000 yang diberikan kepada 9.511 pesantren dari total 21.173 pesantren; 29.550 madrasah diniyah takmiliyah (MDT) dari total 62.153 MDT; 20.124 LPTQ/TPQ dari total 112.008 LPTQ/TPQ; dan bantuan pembelajaran daring bagi 12.508 lembaga dari total 14.115 lembaga.
BOP dialokasikan pemerintah pusat untuk membantu kalangan pesantren, madrasah, dan pendidikan keagamaan di tengah situasi pandemi Covid-19. Pencairan dana BOP telah dilakukan Kemenag sejak akhir Agustus lalu.