REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi Muslim di seluruh dunia, Imam Besar Al Azhar adalah pemimpin spiritual yang sangat dihormati. Pengaruhnya melampaui politik, ras, dan perbatasan.
Di negara asalnya Mesir, sebagian besar dari 100 juta orang yang mayoritas Muslim menganggap Ahmed Al Tayeb ini sebagai wajah kontemporer dari Islam moderat.
Pekan ini, Al Tayeb secara terbuka menyatakan penentangannya terhadap rancangan undang-undang (RUU) yang disponsori oleh lebih dari 60 anggota parlemen. RUU yang dinilai kontroversial tersebut akan mengatur soal Dar Al-Iftaa atau House of Fatwa (fatwa agama), yang saat ini berada di bawah Al Azhar.
Jika diadopsi, RUU itu akan menciptakan badan keagamaan independen, yang dianggap Imam Besar akan merongrong kewenangan Al Azhar sebagai tempat belajar tertinggi bagi umat Islam.
Anggota parlemen Mesir disebut berupaya melemahkan otonomi lembaga Islam terkemuka Mesir, Universitas Al Azhar. Langkah ini dimulai dengan rencana menempatkan badan Dar al Ifta Universitas Al Azhar, yang selama ini memiliki otoritas mengeluarkan pendapat agama, akan berada di bawah pengawasan Kementerian Kehakiman. Selain itu, RUU tersebut juga bertujuan menata kembali kewenangan mufti agung, ketua Dar Al-Iftaa, serta tata cara pengangkatan, masa jabatan, dan tata cara perpanjangan masa jabatan mufti.
Al-Azhar meyakini, undang-undang itu akan membuat Dar Al Ifta menjadi lembaga terpisah dengan Al Azhar. Sehingga, Al Azhar tidak akan lagi bisa menggunakan pengaruhnya terhadap keputusan agama.
Dalam gerakan yang tidak biasa, lembaga Al Azhar di bawah pimpinan Al Tayeb menulis surat yang dipublikasikan yang ditujukan kepada Ketua Parlemen, yang juga advokat yang sangat pro-pemerintah, Ali Abdel Aal. Lembaga sunni ini memberi tahu Abdel Aal bahwa RUU tersebut melanggar konstitusi Mesir 2014. Konstitusi itu mencakup kedudukan Al Azhar sebagai otoritas utama dan satu-satunya negara dalam hal-hal yang berkaitan dengan Islam.
Langkah Al Tayeb ini mengikuti beberapa kali dalam beberapa tahun terakhir, ketika dia berselisih dengan pemerintah atas upayanya memoderasi wacana Islam. Ini juga terjadi sekitar dua tahun setelah beberapa legislator gagal mencoba untuk meloloskan RUU untuk membatas otoritas Imam Besar.
"Pelanggaran konstitusional dari rancangan undang-undang tidak hanya berhenti pada melanggar mandat Al Azhar, mencoba untuk membuat badan yang sejajar dengannya yang berusaha untuk menggantikannya secara substansi dan tujuan. Bahayanya terletak pada upaya untuk menghancurkan misi Al Azhar dan merusak kemerdekaannya, yang merupakan tulang punggung dari ideologi sentris dan moderatnya," demikian bunyi surat tersebut, dilansir di The National, Rabu (26/8).
Dalam surat lain, Al Tayeb memberi tahu Abdel Aal dia secara pribadi akan menghadiri debat parlemen tentang undang-undang yang diusulkan untuk memperdebatkan kasus tersebut. Niatnya untuk hadir itu menggugah minat jutaan warga Mesir yang mengantisipasi perselisihan sengit antara Al Tayeb dan parlemen yang dipenuhi dengan pendukung pemerintah.
Media sosial ramai dengan spekulasi tentang hasilnya. Sementara diskusi terjadi tentang apakah pemerintah benar-benar mencoba melemahkan otoritas Imam Besar.
Namun demikian, perselisihan itu dapat dihindari lantaran menjelang menit-menit terakhir debat tersebut, parlemen Mesir menunda pemungutan suara untuk RUU tersebut. Ketua Parlemen, Ali Abdel-Aal, memutuskan tidak memperdebatkan undang-undang tersebut.
Dengan demikian, Al Tayeb tidak pernah pergi ke parlemen. Namun, episode tersebut tampaknya menunjukkan perbedaan antara Al Azhar dan sebagian negara bagian.
Perselisihan itu dihindari mungkin bermanfaat bagi pemerintah di saat kelas pekerja dan kelas menengah berjuang untuk memenuhi kebutuhan di tengah gelombang kejutan dari wabah virus corona. Sejumlah keputusan yang tidak populer dinilai tidak membantu. Apalagi, di tengah lonjakan harga listrik pada Juli dan pengurangan subsidi roti di negara itu.
Namun, berusaha menepis anggapan bahwa parlemen mengalah kepada Al Azhar, beberapa legislator pro-pemerintah mengatakan kepada media lokal bahwa RUU itu tidak ada dalam agenda Senin. Salah satu dari mereka mengklaim bahwa Imam Besar tidak pernah secara resmi memberi tahu pihak parlemen tentang niatnya untuk menghadiri sidang pada Senin. Anggota komite agama Amany Aziz mengatakan, pandangan Al Tayeb dihargai dan dipahami.
"Tetapi negara memiliki visi yang berpandangan jauh ke depan dan untuk kepentingan bangsa dan warga," kata Aziz.
Anggota parlemen lainnya, Mohammed Abu Hamed, secara implisit menyatakan penentangannya terhadap Al Tayeb yang berniat menghadiri sidang. Dia mengatakan, perwakilan Al Azhar secara rutin menghadiri sesi ketika topik diskusi relevan. Hal itu menunjukkan bahwa kehadiran Al Tayeb tidak diperlukan.
Dengan penundaan tersebut, RUU yang diusulkan itu tidak mungkin akan muncul kembali dalam waktu dekat. Sidang pada Senin itu adalah yang terakhir dalam masa jabatan lima tahun di parlemen Mesir. Pemilihan majelis baru diperkirakan tahun ini.
Universitas Al Azhar telah berusia 1.000 tahun dan telah menarik ribuan pelajar asing dari berbagai negara. Para cendekiawannya sendiri mengajarkan Islam di banyak tempat di dunia.
Baru-baru ini, Al Azhar dituduh melakukan wacana yang kaku dan menolak seruan untuk memodernisasi guna mendorong moderasi. Namun demikian, Al Tayeb memimpin pembelaan lembaga tersebut, dengan alasan bahwa apa yang diminta untuk dilakukannya sama dengan mengabaikan prinsip dasar ajaran Islam.
Meski kerap dikritik oleh pengguna media sosial pro-pemerintah karena membiarkan pandangan "kuno" Al Azhar bertahan, dia mengejutkan banyak orang bulan lalu ketika dia menentang keras orang Mesir yang mengatakan pakaian wanita adalah penyebab meningkatnya kasus pelecehan dan penyerangan seksual.
Komentar Al Tayeb tersebut disambut hangat oleh aktivis hak-hak perempuan yang berkampanye melawan masalah pelecehan seksual yang meluas di negara itu dan menuntut keadilan bagi para korbannya.